Mau Cepat Bisa Baca Kitab Kuning, Amtsilati Jadi Metodenya

Taufiqul Hakim
Pengarang kitab Amtsilati, KH Taufiqul Hakim. [foto : istimewa]

Inisiatifnews – Sekarang ini serba instan, bukan hanya makanan yang cepat saji, tapi juga kemampuan baca kitab pun ada metode cepat saji-nya. Salah satunya adalah metode Amtsilati (metode akselerasi kemampuan membaca kitab kuning, red) yang ditemukan oleh pendiri Pondok Pesantren Darul Falah dari Desa Sidorejo, Kecamatan Bangsri, Jepara, Jawa Tengah tahun 2001.

Selain metodenya yang efektif, kisah dan proses temuannya pun tak kalah menarik karena dialami secara langsung oleh santri muda Taufiqul Hakim. Sebagai santri, Taufiqul Hakim juga mengalami masa-masa sulit mempelajari ilmu nahwu dan shorof, khususnya kitab Alfiyah Ibnu Malik. Dari pengalaman pahit itulah, muncul impian untuk membuat terobosan metode belajar.

Santri yang lahir di Desa Sidorejo 14 Juni 1975 itu mendapatkan inspirasi dari penemuan metode belajar baca Al Qur’an dengan cepat yakni metode Qiroati. Metode Qiroati inilah yang menjadi penyemangat Taufiqul Hakim muda terus berpikir dan merenungkan tata cara baca kitab dengan cepat.

Hari-hari Taufiqul Hakim yang pernah mondok di Pesantren ‘Matolek’ (Mathali’ul Falah) sekaligus mondok di Maslahul Huda Kajen asuhan KH Sahal Mahfud (alm) mantan Ketum MUI sekaligus Rais Aam PBNU itu dipenuhi impian dan obsesi untuk segera menemukan solusi dari problematika klasik yang dihadapi ribuan santri di nusantara.

Sebagai santri, Taufiqul Hakim harus menjalani proses ritual mujahadah untuk merumuskan gagasan dan impiannya itu. Secara intensif, mulai 27 Rajab tahun 1422 H/ 27 Oktober 2001, sang pemimpi itu mulai melakukan perenungan secara serius untuk mewujudkan gagasannya, tak terkecuali juga berkonsultasi dengan para kiai sepuh.

Puncaknya, selama 4 hari berturut-turut Taufiqul Hakim melakukan mujahadah di makam Mbah Ahmad Mutamakin Baha’uddin An Naqsyabandiyah sehingga mendapatkan isyarat sangat kuat dari almarhum Mbah Mutamakkin sekaligus juga Ibnu Malik (pengarang kitab Alfiyah). Puncaknya, kedua tokoh yang sangat dihormati Taufiqul Hakim itu seakan merestui keinginannya dan sekaligus membimbing untuk menuliskan gagasan besarnya menyusun metode cepat baca kitab; Amtsilati. Seperti dalam mimpi, bimbingan untuk menuliskan rumusan metode Amtsilati itu dilakukan siang-malam dan berlangsung hanya 10 hari. Dan pada akhirnya proses perumusan itu rampung tanggal 27 Ramadhan.

Untuk memantapkan hati dan pikirannya yang sudah terangkum dalam buku, santri muda itu pun menggelar forum Bedah Konsep Amtsilati di gedung PCNU Jepara. Tentu saja, ada pro dan kontra tapi lebih banyak yang mendukung. Bahkan dalam forum tersebut sudah ada yang berani menawarkan diri untuk melakukan uji coba di Pondok Pesantren Mambaul Qur’an Mojokerto, Jawa Timur, milik kerabat salah satu peserta diskusi.

Dari uji coba itulah, kemudian menjadi cikal bakal perkembangan metode hasil temuan pengamal Thoriqot Naqsabandiyah itu mulai menemukan titik terang. Dari sekedar foto kopi, kemudian berpindah ke percetakan dan kini percetakan kitab Darul Falah menjadi salah satu sumber pendanaan Pondok Pesantren Darul Falah yang menjadi pusat pengembangan metode tersebut.

Melalui metode inilah, diharapkan para santri mempunyai bekal dan waktu memadai untuk mendalami berbagai ragam khazanah kitab kuning. Dengan menggunakan metode tersebut, para santri tak harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menguasai dua cabang ilmu nahwu dan shorof sebagai prasyarat dasar untuk membaca kitab. Hanya dalam hitungan bulan, seorang santri sudah bisa membaca kitab dan jika kemampuan ini diasah secara konsisten, maka santri bersangkutan akan mahir baca kitab dalam tempo yang relatif lebih singkat.

Setelah publik mulai melihat hasil positif dari penggunaan metode Amtsilati, respon masyarakat pun datang bergelombang. Tak terkecuali juga dari Kakanwil Kemenag Jawa Tengah yang menjadikan metode Amtsilati sebagai salah satu terobosan untuk meningkatkan kualitas guru dan para santri dari berbagai Pondok Pesantren maupun pendidikan Islam seperti MTs (Madrsah Tsnawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah). Para guru dari berbagai lembaga pendidikan tersebut difasilitasi oleh Kemenag Jawa Tengah untuk mengikuti kursus Metode Amtsilati mulai dari program 3 bukan sampai 6 bulan.

Selain Kemenag Jawa Tengah, ratusan forum pelatihan juga telah dihadiri oleh KH Taufiqul Hakim. Mulai dari Jawa Tengah hingga ke berbagai pelosok nusantra, bahkan luar negeri. Bahkan ada yang merintis cabang Pesantren serupa, seperti Pesantren Al Fauzan Lumajang, Pesantren Mambaul Falah Bondowoso Jawa Timur dan masih banyak pesantren lain yang berafiliasi ke Darul Falah Bangsri, Jepara.

Taufiqul Hakim Amtsilati
KH Taufiqul Hakim bersama istri. [foto : Istimewa]

Seiring perjalanan Pesantren, Pesantren Darul Falah yang awalnya hanya menempati ruang belajar 10 x 10 meter itu telah berkembang pesat dan kini telah menempati area seluas 5 hektar lebih dengan jumlah santri lebih dari 800 orang. Selain perkembangan fisik bangunan dan animo masyarakat, Darul Falah juga mengembangkan model pendidikan formal secara berjenjang. Mulai dari jalur formal yaitu, MI (Madrasah Ibtidaiyyah) Tahfidz Amtsilati, SMP IT (Islam Terpadu) Amtsilati sampai MA (Madrasah Aliyah) Amtsilati. Dari jalur non-formal, yaitu progam metode Amtsilati, kemudian progam pasca Amtsilati yang terdiri dari komunikasi bahasa Arab-Inggris dan Madin Wustho dan Ulya Amtsilati.

Selain menyelenggarakan pendidikan formal, KH Taufiqul Hakim yang pernah belajar Thariqot ke KH Salman Dahlawi di Pesantren Al-Manshur Klaten selama 100 hari itu pun menyelenggarakan pendidikan tambahan bagi masyarakat umum, seperti majelis taklim.

Dari metode Amtsilati itulah Pesantren Darul Falah Bangsri banyak melahirkan santriwan dan santriwati berprestasi. Setidaknya, sekitar 50 lebih piala yang berhasil dibawa pulang ke Darul Falah. Diantaranya, Mas Agus Azro Halim mendapatkan juara II Bidang Tafsir Ulya dalam Mufakat (Musabaqah Fahmil Kutub Turats) tahun 2011. Kabar terbaru, bulan April 2015 lalu santri Amtsilati memborong 20 piala dari beragam bidang kategori dalam MQK Kabupaten Jepara.

Selain prestasi para santrinya, ternyata KH Tafiqul Hakim juga masih produktif menulis dan telah merampungkan 150 kitab. Selain produktif menulis kitab, KH Taufiqul Hakim juga tak pernah berhenti membangun sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan pesantren Darul Falah. Apalagi animo masyarakat juga nyaris tak pernah berhenti untuk menitipkan putra-putrinya di Pesantren Darul Falah.

Metode Ikhtishor

Selain metode Amtsilati yang sudah dikenal publik, belakangan ini juga muncul temuan baru yakni metode Ikhtishor yang dikembangkan oleh Kiai Amin Fauzan Badri di Desa Brakas, Kecamatan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah. Melalui metode yang dibukukan dalam dua jilid itu, mulai melakukan pendidikan akselerasi penguasaan kitab kuning.

Dengan berbekal bangunan yang teramat sederhana itulah, Kiai Amin mendidik santri-santri ciliknya kisaran usia 12 lebih. Dari kesederhanaan itulah, telah lahir santri-santri cilik yang sudah mulai mahir membaca kitab kuning yang tebal-tebal itu seperti Fathul Qorib karya Abdu Abdillah Muhammad bin Qosim Al Ghozzi yang sangat populer di kalangan Pondok Pesantren salaf.

Hanya dalam tempo sekitar 8 – 20 bulan, para santri sudah bisa membaca kitab kuning dengan baik dan lancar. Kemahiran para santri tersebut diperoleh karena adanya akselerasi penguasaan ilmu nahwu dan shorof melalui metode Ikhstishor yakni penguasaan bidang “ismiyah” dan bidang “fi’liyah”. Kedua bidang tersebut, dikaji secara intensif selama 2 bulan atau 52 kali pertemuan selama 1 jam perhari karena keduanya menjadi kunci utama kemampuan baca kitab. Pada bulan pertama, para santri difokuskan mempelajari bidang “ismiyah” dengan seluruh ornamen dan seluk-beluknya.

Memasuki bulan kedua, para santri akan diajarkan bidang “fi’liyah” dengan seluruh perihal yang terkait dengannya. “Santri cukup belajar metode ikhtishor ini 1 jam perhari, tapi syarat untuk mempelajari ini adalah tidak boleh lupa antara pelajaran pertama sampai akhir,” ujar Kiai Amin kepada NU Online.

Kenapa tidak boleh lupa?. Karena setiap bab dari kitab Al Ikhtishor ini selalu berkaitan antara satu bab dengan bab lainnya. Dengan kata lain, kedua buku tersebut saling berkaitan seperti mata rantai yang tidak boleh putus. Jika lupa pada bab tertentu, akan menyebabkan santri akan mengalami kesulitan untuk membaca kitab kuning.

Adapun proses belajar mengajar di pesantren yang masih sangat sederhana itu, Kiai Amin menerapkan model belajar dengan sistem sorogan sehari dua kali yakni pagi dan sore hari. Pagi hari mengaji kitab Al Ikhtishor, kemudian sore harianya setoran hafalan kitab Ikhtishor, dan malam harinya mutholaah bersama (studi club) yang dipandu oleh santri senior.

“Setiap satu bahasan itu akan dikaji 3 kali dalam satu hari,” katanya.

Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan ingatan dan penguasaan para santri terhadap kedua kitab induk tersebut yakni kitab Ikhtishor.

Dalam kurun waktu rata-rata 2 bulan, para santri sudah bisa menguasai kitab induk, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji beragam jenis kitab kuning sesuai jenjang tingkatannya masing-masing.

Untuk pemula, mereka diwajibkan mengkaji kitab Fathul Qorib, kemudian tingkat menengah diwajibkan mengkaji kitab Tahrir, dan kelas akhir diwajibkan mengkaji kitab Nihayatuz Zayn. Dengan kata lain, 2 bulan pertama, para santri diwajibkan menguasai teori gramatika tentang Nahwu dan Shorof yang terangkum dalam kitab Ikhtishor dan ditulis dalam 2 jilid. Kemudian, tahap berikutnya melakukan uji praktek baca kitab selama 16 bulan yang terbagi dalam tiga tingkatan tadi.

[MMS]

Temukan kami di Google News.

Pos terkait