Soal Kecurangan Pemilu, Mahfud MD: Dulu Vertikal, Kini Horisontal, Tapi Lebih Baik

Mahfud MD bersama politisi senior Akbar Tanjung, peneliti senior pusat penelitian politik LIPI Siti Zuhro, Eks Komisioner KPU Chusnul Mar'iyah menjadi pemantik dalam sarasehan MN KAHMI di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Inisiatifnews – Sejak zaman Orde Baru, Pemilu di Indonesia selalu diwarnai kecurangan. Namun, terdapat perbedaan tingkat kercurangan pada setiap era.

Ketua Dewan Pakar Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) Prof. Mahfud MD mengungkapkan, pemilu di zaman Orde Baru kecurangannya bersifat vertikal. Yakni dilakukan oleh penguasa yang selalu merekayasa agar partai politik penguasa menang.

Bacaan Lainnya

Sedangkan pemilu di era reformasi sekarang ini, kecurangan dilakukan secara horizontal, dapat dilakukan oleh partai-partai atau rakyat yang ikut pemilu. Bedanya, pemilu sekarang lebih baik karena berlangsung dengan pengawasan yang lebih melembaga.

“Buktinya semua parpol sekarang berperkara ke MK karena merasa dicurangi oleh partai lain sesama peserta pemilu”, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini dalam sarasehan nasional MN KAHMI tentang “Demokrasi, Pemilu, dan Keindonesiaan” di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Selanjutnya, Mahfud yang juga Ketua Umum Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) itu menandaskan, pemilu di era reformasi jauh lebih bagus karena demokrasi sudah diimbangi dengan nomokrasi.

Zaman Orde Baru tidak ada peradilan pemilu. Sementara di era reformasi ini, ada peradilan pemilu yakni MK dan disertai pengawasan pemilu oleh Bawaslu, civil society, serta pemantau independen.

Mahfud yang pernah menjadi Ketua Presidium MN KAHMI periode 2012-2017 menambahkan, dari sisi penyelenggara, pemilu era sekarang ini jauh lebih transparan. Saat ini, penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen. Anggota-anggotanya juga dipilih oleh DPR.

Sedangkan di era Orde Baru, penyelenggaranya adalah Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan aparat pemerintah sampai ke tingkat bawah. Ini berpotensi penyalahgunaan wewenang aparatur pemerintah.

Selanjutnya, mantan Ketua MK periode 2008-2013 itu berharap agar pada pemilu berikutnya di tahun 2024, kualitas pemilu lebih ditingkatkan melalui penguatan nomokrasi (kedaulatan hukum) agar bisa lebih mengimbangi demokrasi (kedaulatan rakyat).

“Pengawasan dan peradilan pemilu ke depan harus lebih powerful agar kecurangan bisa diminimalisir. Mengharap pemilu bersih 100 persen dari kecurangan memang sulit, tapi kalau pengawasan oleh pengadilan, pemantau independen, civil society, dan pers diperkuat, maka hasil pemilu akan menjadi lebih baik,” tandas Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ini.

Sarasehan nasional MN KAHMI tersebut diselenggarakan dalam rangka menyiapkan naskah akademis untuk perbaikan pemilu dan sistem politik di masa yang akan datang. Dalam sarasehan yang dihadiri oleh sekitar 700 orang dari seluruh Indonesia itu, hadir sejumlah narasumber antara lain, politisi senior Akbar Tanjung, peneliti senior pusat penelitian politik LIPI Siti Zuhro, Eks Komisioner KPU Chusnul Mar’iyah, dan sejumlah alumni kelompok Cipayung yang kini duduk DPR. (FMM)

Temukan kami di Google News.

Pos terkait