Tidak mengakui NKRI, mengharamkan demokrasi, dan jadi agen Amir Hizbut Tahrir, lalu ikut komentar soal RUU Pemilu, Yusanto bukan saja halu, tapi mungkin urat malunya sudah putus. Sangat tidak pantas dan tidak beradab, Yusanto nimbrung membicarakan urusan negara orang lain (Indonesia), mengingat yang bersangkutan pada hakikatnya bukan WNI.
Memang, Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Hizbut Tahrir halaman terakhir menyatakan bahwa Hizbut Tahrir (HT) adalah partai politik, ideologinya Islam, tujuannya melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan daulah Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia. (an-Nabhani, 2001: 81).
Meski berbentuk partai politik, HTI mengharamkan pemilu di dalam sistem demokrasi, dengan alibi, pemilu tersebut menjadi sarana bagi manusia untuk membuat hukum. HTI salah paham tentang hukum buatan manusia.
Dalam benak HTI, Tuhan semesta alam yang berhak membuat hukum, telah menyiapkan UUD, UU, PP, Perda, Kepres, Perpres, dsb bagi umat manusia. Manusia tinggal pakai. Disangka HTI, Tuhan semesta alam itu seperti anggota legislatif dan pejabat eksekutif.
Mengapa Yusanto ikut komen, toh, HTI juga tidak akan mengikuti pemilu, karena organisasinya sudah menjadi organisasi terlarang. Pemilu bukan jalan bagi HTI untuk meraih kekuasaan untuk menegakkan Khilafah Tahririyah. Fix, HTI menjadikan kudeta militer yang ditutupi dengan istilah thalab an nushrah sebagai metode baku perjuangan politik mereka.
Yang menjadi masalah bagi HTI dari RUU Pemilu adalah, hak-hak politik pengurus anggota, impatisan dan pendukung HTI dicabut, disamakan dengan PKI. Disamakan dengan PKI, bagi HTI suatu penghinaan yang luar biasa. HTI disamakan dengan PKI, sungguh sangat memalukan, sekaligus kekalahan politik HTI yang sangat memilukan.
Dengan pencabutan hak-hak politik pengurus, anggota, simpatisan dan pendukung HTI, niat HTI mau menggunakan tangan tokoh-tokoh sipil yang mendukung mereka, yang akan mencalonkan diri pada pesta demokrasi, untuk memukul pemerintah, tertutup sudah. Strategi nabok nyilih tangan HTI, gagal total. Selain itu, tokoh-tokoh sipil yang akan berlaga di Pemilu, akan menjauhi HTI, karena dekat dengan HTI akan berdampak pada pencalonan mereka.
Disamakan dengan PKI, membuat HTI semakin jauh dari masyarakat. Sedangkan dalam doktrin HTI, masyarakat menjadi jalan bagi mereka untuk meraih kekuasaan. Masyarakat diharapkan menjadi tameng hidup bagi pengurus dan anggota HTI ketika berhadapan dengan pemerintah.
Menurut HTI, kekuasaan politik yang hakiki akan bisa diraih apabila berhasil “mengusai akal pikiran” masyarakat. Karena perkaranya bukan hanya melakukan usaha untuk menjatuhkan penguasa saja, namun yang difokuskan adalah menjadikan pemikiran Islam dominan di tengah-tengah masyarakat, sehingga penggulingan penguasa dan pengambilalihan kekuasaannya terjadi karena cengkeraman pemikiran tersebut. (an-Nabhani, 2016: 27).
Yusanto tuturut komen soal RUU Pemilu bagian dari pengamalan doktrin dharbu ‘alaqah baina ummah wa hukkam (memutuskan hubungan umat dengan pemerintah). Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir mengatakan; Setiap orang maupun Syabab Hizb (aktivis HTI) harus mengetahui, bahwasanya Hizb (HTI) bertujuan untuk mengambil kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa. Hizb (HTI) bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi (hubungan) penguasa (pemerintah) dengan umat (rakyat), kemudian dijadikan kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyah (Khilafah). (an-Nabhani, dalam kutaib Dukhul Mujtama’ 2016: 24 – 25).
Cuma masalahnya, masyarakat sekarang sudah cerdas. Mereka tahu apa dan bagaimana HTI. Mereka sudah kenal siapa itu Yusanto, sehingga narasi-narasi yang disampaikannya dianggap angin lalu. Walhasil tidak ada gunanya Yusanto ikut-ikut komen soal urusan negara orang.