Inisiatifnews.com – Polemik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) masih berlangsung, yakni pasca adanya surat rekomendasi ORI terhadap hasil pemeriksaan aduan para pegawai KPK yang tidak lolos dalam asesmen alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Oleh karena itu, Forum Guru Besar dan Doktor di lintas Universitas di Indonesia memberikan saran agar tidak ada konflik berkepanjangan antar lembaga negara, apalagi sampai memiliki kesan satu sama lainnya menjadi rivalitas dalam menjalankan tugasnya.
Salah satu yang memberikan saran untuk perbaikan kedua lembaga itu adalah mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Prof Aidul Fitriciada Azhari. Ia menilai, bahwa konflik antara KPK dan Ombudsman terjadi karena lemahnya komunikasi antar mereka masing-masing.
“Saya lihat persoalan KPK dan ORI ini hanya komunikasi saja,” kata Prof Aidul dalam diskusi virtual Forum Guru Besar dan Doktor dengan tema dengan tema “Ombudsman RI dan TWK KPK : Perspektif Dua Guru Besar Ilmu Hukum”, Minggu (8/8/2021).
Ia mengingatkan, bahwa jika konflik antar lembaga termasuk antara KPK dengan Ombudsman saat ini tidak disudahi, ia khawatir justru akan mendegradasi negara dalam konteks organisasi.
Di sisi lain, Prof Aidul juga memberikan perspektifnya tentang konteks asesmen di internal KPK, salah satunya adalah alih status pegawai KPK menjadi ASN. Menurutnya, proses asesmen adalah sesuatu yang wajar saja di dalam sebuah lembaga negara.
Karena dari segi fungsinya, asesmen tidak hanya sekedar untuk melakukan pengadaan pegawai sipil baru untuk dipekerjakan di sebuah lembaga negara atau lembaga pemerintahan. Akan tetapi, bisa juga digunakan untuk melakukan pengembangan terhadap pegawainya.
“Asesmen itu tujuannya dua, yaitu untuk rekrutmen dan mengevaluasi. Dan asesmen di KPK itu harusnya kan bukan perekrutan tapi pengembangan. Sehingga ketika 51 orang yang tidak lolos itu tidak bisa menjadi pejabat, tapi hanya sebagai pegawai biasa,” ujarnya.
Hanya saja, ia sangat tidak sepakat ketika proses asesmen tersebut justru berujung pada pemberhentian mereka yang dinyatakan tidak lolos dalam proses seleksi tes wawasan kebangsaan (TWK) yang digelar oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) itu.
“Jadi TWK harusnya bukan untuk menghentikan seorang pegawai tapi untuk pengembangan,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, akademisi Universitas Tadulako Palu Dr. Muhammad Tavip memberikan saran kepada Presiden Joko Widodo agar konflik kedua lembaga negara ini tidak melebar dan berkepanjangan. Saran yang diutarakan adalah agar Presiden mengambil inisiatif untuk menengahi keduanya secara langsung.
“Ini persoalan komunikasi, iya. Solusinya, pak Jokowi dudukkan bersama-sama itu (KPK dan ORI), nggak perlu diperuncing lagi. Makanya perlu komunikasi deliberatif,” tutur Tavip.
Ia juga mengharapkan tidak ada oknum lembaga negara baik KPK maupu ORI yang melakukan guyonan yang tidak perlu dalam menyikapi polemik kedua institusi negara ini. Dalam konteks ini, ia menyinggung kelakar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyebut atasan KPK adalah langit-langit dan lampu-lampu.
“Pak Jokowi hadirkan mereka berdua (KPK dan ORI). Kalau perlu panggil cak Lontong di tengah-tengah mereka untuk melawak (meredakan suasana -red), jangan pak Gufron (yang melawak) karena dia nggak kompeten untuk melawak,” tandasnya.