Bengkerengan antara Presiden Jokowi (PJ) vs Megawati Soekarnoputri, jika terus melebar dan mendalam akan mengakibatkan potensi krisis politik yang bersumber dari dan dimotori oleh masyarakat politik (PDIP dan Istana) berikut pendukung keduanya. Dampaknya tentu bisa sampai ke bawah dan, bahkan, meluas secara nasional.
Ini adalah sebuah ujian bagi lembaga-lembaga politik dan proses pelembagaan sistem demokrasi yang dibangun serta ditumbuh-kembangkan sejak pasca Reformasi ’98. Jika konflik dan krisis ini berhasil dikelola dengan baik dan tidak membawa perubahan radikal dalam ketatanegaraan dan perpolitikan nasional, semisal pemakzulan atau chaos politik seperti Orla dan Orba, maka sistem demokrasi kita berarti dapat survive dan berkembang maju.
Itulah sebabnya konflik dan krisis Presiden Jokowi vs Megawati Soekarnoputri yang melibatkan PDIP dan Istana ini, tak serta merta harus dinilai mutlak buruk. Bisa jadi, ia adalah semacam tes ketahanan bagi eksperimentasi demokrasi di republik ini. Meski tentu, saja harus segera dicarikan resolusi yang tepat dan efektif untuk memitigasi krisis politik tersebut.
Keterlibatan komponen-komponen masyarakat sipil Indonesia termasuk komponen cendekiawan di dalamnya, tak dapat disepelekan dalam mencari solusi keluar dari konflik dan krisis tersebut, sebelum menjadi out of control. Mereka seharusnya memberi advis yang lebih positif dan konstruktif ketimbang mengajukan alternatif instan seperti pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sebab, belajar dari kasus pemakzulan terhadap almaghfurlah Gus Dur, umpamanya, ternyata mudharat yang dihasilkan bagi Republik ini, justru lebih besar ketimbang manfaatnya.
Hemat saya, salah satu sisi positif dari pemerintahan Presiden Jokowi yang penting untuk tetap dijaga adalah bagaimana sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh sipil bisa bertahan sampai paripurna. Ini penting sebagai sebuah rujukan masa depan bangsa ini dalam membangun kultur demokrasi modern.
Pada saat yang sama, ambisi-ambisi “nggladrah” dan kebablasan seperti upaya memperpanjang masa jabatan dan memanfaatkan politik dinasti harus dicegah sekuat tenaga oleh rakyat.
Perjalanan demokratisasi selalu tak akan sepi dari berbagai tes atau cobaan, baik dari dalam maupun luar, dari kalangan elite maupun masyarakat bawah. Demikian pula demokrasi akan selalu memerlukan evaluasi, kritik dan perubahan substantif, bukan hanya melestarikan status quo kendati sudah dianggap baik oleh sebagian orang.