Gerah Anak Presiden Ikut Kompetisi Pilpres 2024, SETARA Institute Tolak Normalisasi Pelanggaran Konstitusi

Keluarga Jokowi
Keluarga Jokowi.

HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua SETARA Institute, Ismail Hasani menekankan bahwa pihaknya masih belum bisa tidur nyenyak dengan hadirnya Gibran Rakabuming Raka menjadi bagian dari peserta kontestasi Pilpres 2024.

Hal ini karena keberadaan Gibran sebagai Cawapres Prabowo Subianto harus melalui cara-cara yang tidak beretika dalam konstruksi konstitusional, yakni memaksakan perubahan syarat pendaftaran Capres-Cawapres melalui mekanisme gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Bacaan Lainnya

“(Gibran) melaju ke gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan mengorbankan demokrasi, merusak kepatuhan pada Konstitusi dan meruntuhkan marwah Mahkamah Konstitusi,” kata Ismail dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/11).

Pun dalam proses hukum yang berjalan di MK memang dianggap sah secara formal oleh konstitusi, sekurang-kurangnya dalam perspektif yang diyakini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.

“Secara legal-formal langkah Gibran dianggap sah oleh KPU,” lanjutnya.

Melenggangnya Gibran ke panggung Pilpres 2024 menyisakan perkara yang akan menjadi catatan kelam bagi konstruksi demokrasi konstitusional di Indonesia. Sekalipun beberapa lembaga survei dan beberapa pakar hukum mencoba melakukan pembenaran terhadap apa yang dilakukan sekelompok entitas untuk mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu 2024 melalui perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diputuskan oleh Anwar Usman yang notabane adalah paman Gibran.

“Setelah beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik bahwa langkah Gibran dianggap oleh mayoritas responden bukan politik dinasti, sejumlah pakar hukum juga memberikan justifikasi dengan melakukan normalisasi pelanggaran konstitusi. Kini normalisasi juga dilakukan oleh KPU dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023,” sambungnya.

Dengan melihat fenomena dan fakta yang ada seperti ini, ia berpandangan bahwa sejumlah pihak termasuk lembaga penyelenggara Pemilu lebih memilih untuk menutup mata rapat-rapat terhadap adanya cacat moral di balik putusan atas perkara yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UMS) Solo, Almas Tsaqibbirru yang notabane adalah putra Boyamin Saiman itu.

Bahkan normalisasi atas putusan perkara yang didasari atas cacat moralnya Anwar Usman sebagai Ketua MK saat memutuskan perkara 90 tersebut juga diamini oleh Komisi II DPR RI. Yakni dengan mengabulkan draf PKPU yang diajukan KPU untuk mengakomodir putusan MK tersebut.

Catat moral ini sekurang-kurangnya berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin oleh prof Jimly Asshiddiqie, yang memutuskan bahwa Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik kehakiman.

“Aspek moralitas dan etika politik serta tidak adanya legitimasi politik atas putusan tersebut, semestinya menjadi pertimbangan DPR RI saat membahas PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pilpres, yang mengubah syarat usia Capres-Cawapres dengan putusan MK yang kontroversial. Nyatanya DPR juga sama, melakukan normalisasi pelanggaran Konstitusi,” tukasnya.

Menyikapi dinamika ketatanegaraan mutakhir tersebut, Ismail menyatakan bahwa masih menentang keras keberadaan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres hasil produk pelanggaran konstitusi. Ia berharap publik tidak akan memilih paslon yang lahir dari hasil misi perusakan moral hukum dan konstitusi di Indonesia itu.

“SETARA Institute menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam Pemilu nanti. Cara ini sekaligus sebagai bagian pengawasan publik agar Pemilu dijalankan secara berintegritas dan adil,” tegasnya.

Setidak-tidaknya kata Ismail, bahwa SETARA Institute akan terus mendorong agar penyelenggara Pemilu menjadi aktor utama yang menjaga integritas Pemilu sehingga tercipta keadilan elektoral (electoral justice) pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

“SETARA Institute menentang segala bentuk intervensi, intimidasi, dan netralitas artifisial yang ditunjukkan oleh beberapa pihak,” paparnya.

“Netralitas buatan bukanlah netralitas yang otentik, karena di satu sisi menyerukan netralitas dan menyatakan tidak ada intervensi, tapi di sisi lain tetap membiarkan orkestrasi kandidasi, mobilisasi sumber daya, termasuk tidak melakukan upaya maksimum memastikan keadilan Pemilu,” pungkas Ismail.

Temukan kami di Google News.

Pos terkait