Sejatinya, akhir-akhir ini sudah semakin benderang bagaimana intensitas penetrasi kekuasaan Istana pada batang tubuh perpolitikan Indonesia. Paling mutakhir, MK, KPK, KPU, untuk menyebut tiga lembaga yang seharusnya memiliki independensi, kini ditengarai semakin dalam diinfiltrasi oleh eksekutif.
Proses penetrasi kekuatan negara ini berjalan efektif melalui apropriasi yang dibarengi dengan upaya pelemahan kelembagaan negara. Kenapa strategi ini sukses? Salah satu penjelasannya adalah karena masyarakat politik Indonesia (MPI), yang idealnya mampu melindungi lembaga-lembaga negara melalui fungsi pengawasan yang dimilikinya itu, sudah lama berhasil di tarik masuk dan dijinakkan Istana melalui sistem kartelisasi parpol dan parlemen yang menjadi “trade mark” dari sistem politik Indonesia di pasca-reformasi.
Tetapi kesuksesan penetrasi Istana juga disumbang oleh pelemahan masyarakat sipil Indonesia (MSI) melalui pengaturan-peraturan dan kebijakan publik terkait akses atas sumber daya, khususnya yang terkait dengan ekonomi dan distribusi kesejahteraan publik. Para anggota MSI, utamanya di lapisan menengah ke bawah, telah dibuat semakin tergantung kepada “belas kasihan” dan patronisasi negara lewat program-program populis. Akibatnya, kemandirian ekonomi, politik, dan sosial mereka juga cenderung menurun.
Penetrasi negara di era pasca-reformasi memiliki karakter yang berbeda dengan era Orba, tetapi dengan “end game” yang kurang lebih sama: Kembalinya model sistem politik otoriter dan tergerusnya sistem politik demokrasi konstitusional.
Jika karakter Orba adalah hegemoni dan korporatisasi negara, maka di era pasca-reformasi adalah melalui oligarki dan kartelisasi politik. Model korporatisasi negara ditinggalkan sebagai strategi mobilisasi kekuasaan, digantikan dengan penggelaran pengaruh yang luas dari oligarki dalam ekonomi politik masyarakat.
Secara kasatmata, model ini tampak lebih “legitimate” karena penampakan formal praktik-praktik yang demokratis, namun sejatinya secara substantif sangat dipertanyakan. Demokrasi formal yang sebenarnya merupakan tahapan menuju demokrasi substansial yang terkonsolidasi, akhirnya macet dan dianggap sebagai keberhasilan.
Lebih jauh, penerimaan (acceptability) terhadap kekuasaan dalam bentuk popularitas publik dari negara akan digunakan sebagai indikator kesuksesan sistem. Walhasil, stabilitas sistem pun dicitrakan telah berhasil dipertunjukkan kepada masyarakat dan dunia internasional!
Konsolidasi kearah sistem politik otoriter kemudian mendapatkan momentumnya, termasuk upaya penggelaran dan pemantapan kekuasaan melalui politik dinasti yang dipertontonkan oleh elit politik saat ini.
Akankah upaya tersebut berhasil terwujud pasca Pilpres 2024? Kita saksikan saja babak selanjutnya!