JAKARTA, Inisiatifnews.com – Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), KH Kamaruddin Amin memberikan sentilan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) khususnya Komisi Fatwa yang mengharamkan ucapan salam lintas agama.
“Salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama,” kata Kamruddin dalam keterangan persnya, Jumat (31/5).
Kementerian Agama menilai, bahwa salam lintas agama yang selama ini berkembang di kalangan masyarakat sebagai bagian praktik baik (best practise) merawat kerukunan umat. Salam lintas agama disampaikan bukan untuk merusak akidah antarumat beragama, akan tetapi berangkat dari kesadaran dari sikap saling menghormati dan toleran.
Hal ini disampaikan Komaruddin untuk merespons hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII di Bangka Belitung. Salah satu hasil ijtima ini adalah panduan hubungan antarumat beragama berupa Fikih Salam Lintas Agama.
Disebutkan dalam panduan tersebut bahwa pengucapan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan. Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan.
Menurut Komaruddin, apa yang menjadi argumentasi fatwa MUI tersebut jelas kurang tepat. Ia yakin bahwa masyarakat antar umat beragama di Indonesia sudah tahu tentang persoalan batasan akidah.
“Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing, dan secara sosiolologis, salam lintas agama perkuat kerukunan dan toleransi,” ujarnya.
Menurut Kamaruddin Amin, dalam praktiknya, salam lintas agama menjadi sarana menebar damai yang juga merupakan ajaran setiap agama. Ini sekaligus menjadi wahana bertegur sapa dan menjalin keakraban.
“Sebagai sesama warga bangsa, salam lintas agama bagian dari bentuk komitmen untuk hidup rukun bersama, tidak sampai pada masalah keyakinan,” terangnya.
Kemudian, ia juga merujuk contoh di negara bangsa yang sangat beragam atau multikultural. Di mana artikulasi keberagamaan harus merefleksikan kelenturan sosial yang saling menghormati dengan tetap menjaga akidah masing-masing.
“Salam lintas agama adalah bentuk komunikasi sosial yang secara empiris terbukti produktif dan berkontribusi meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama,” tegasnya.
Ikhtiar merawat kerukunan penting terus diupayakan. Caranya dengan menguatkan kohesi dan toleransi umat, bukan mengedepankan tindakan yang mengarah segregasi.
Lantas dalam tiga tahun terakhir, jelasnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mengalami peningkatan. Pada 2021 sebesar 72,39, indeks naik menjadi 73,09 pada 2022. Sementara pada 2023, indeks KUB kembali naik menjadi 76,02.
“Ada tiga dimensi yang dipotret, yaitu toleransi dengan skor 74,47, kesetaraan dengan skor 77,61, dan kerja sama dengan skor 76,00. Ini indikator yang sangat baik,” papar Kamaruddin.
Ditambahkan dia, Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik) (HR. Al-Bukhari). Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud, mengatakan, “Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan”. Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam. Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian (Tafsir al-Qurthubi, 11/111). Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).
Oleh sebab itu, ia pun memandang bahwa imbauan MUI mungkin relevan bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Namun jangan sampai justru hal itu melarang atau ragukan keimanan orang yang berucap salam lintas agama.
“Dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara beragama dan bernegara bisa saling sinergi,” tandasnya.
Fatwa MUI
Sebelum diketahui, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan, bahwa umat muslim yang mengucapkan selamat hari raya bagi agama lain hukumnya haram.
Hal itu diputuskan dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII yang berlangsung di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung beberapa waktu lalu.
“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh dalam keterangannya, Jumat (31/5).
Asrorun menekankan, bahwa pengucapan salam kepada agama lain bukan merupakan bagian dari toleransi umat beragama, termasuk juga menggunakan atribut hari raya agama lain.
Ia menjelaskan, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum hukumnya haram.
“Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan,” katanya.
Meski begitu, MUI menegaskan, bahwa umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan bagi umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka.
Lebih lanjut, Asrorun menjelaskan setidaknya ada dua bentuk toleransi beragama, yakni dalam hal akidah dan muamalah. Dalam hal akidah, umat Islam wajib memberikan kebebasan kepada umat beragama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya.
“Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” tutupnya.