Ormas di Indonesia Wajib Dukung Pancasila dan Jaga Keutuhan NKRI

Menko Polhukam Mahfud MD saat mengisi FGD dengan tema "Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Ormas Radikal".

Jakarta, Inisiatifnews.com – Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui, pertumbuhan ormas yang kian besar adalah konsekeunsi dari demokrasi. Ada sekitar 440 ribu ormas dengan berbagai variasinya berdiri di sejumlah tempat di Indonesia. 

Kata Mahfud, inilah bentuk kebebasan berserikat berkumpul dan menyampaikan pendapat dalam menyampaikan aspirasi baik lewat lisan maupun tulisan.

Bacaan Lainnya

“Ormas tidak boleh diberangus. Ini instrumen penting dalam demokrasi. Tapi wajib tunduk pada pembatasan kepentingan orang lain dan aturan UU yang ada,” ungkap Menko Polhukam Mahfud MD dalam FGD yang digelar oleh Kedeputian Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam RI di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (29/9/2020).

Hadir sebagai pembicara, Direktur Keamanan Negara Baintelkam Polri Umar Effendi, Cendekiawan Muslim dan Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra, dan Prof. Topo Santoso Guru Besar UI serta Praktisi Hukum.

Diungkapkan Mahfud, Ormas di Indonesia jumlahnya semakin banyak setelah era reformasi. Baik berlatar profesi, etnis, kemahasiswaan, kepemudaan, keagamaan, politik dan lainnya. Mereka berada di tingkat nasional hingga daerah. Ormas dapat melakukan kerjasama dengan LSM asing dengan fasilitas pemerintah. 

“Ormas juga dapat melalukan pendidikan politik. Tetapi wajib mengakui Pancasila dan berperan memelihara keutuhan NKRI,” tegasnya.

Namun, kenyataannya, tak sedikit Ormas yang menggangu ketertiban umum dan UU yang berlaku. Seperti melakukan aktivitas radikal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

Radikal, lanjut Mahfud, bentuknya takfiri yakni menyalahkan orang lain. Jika dengan aksi membunuh orang lain disebut teror. Radikal adalah gerakan yang melawan Pancasila, NKRI, UUD 45 dan pemerintahan yang sah. Paham dan gerakan untuk mengubah fundamental sosial dan politik, cenderung ekstrem dan tidak terukur mengganggu kehidupan sosial.

“Radikal dalam konteks yang salah, berusaha membongkar kesepakatan yang sudah dicapai, yakni NKRI dan Pancasila dan UUD 45. Kalau mau mengubah, ada caranya, ada prosedurnya. Ikut partai politik,” paparnya.

Mahfud menambahkan, saat ini, Indonesia sudah punya UU Ormas yang mengatur pembubaran Ormas yang bertentangan yang ingin mengganti Pancasila dan NKRI. Akan tetapi, aturannya kurang rinci.

“Hizbut Tahrir, jelas anti NKRI. Mereka sebut Pancasila gagal. Demokrasi haram. Itu dinyatakan secara terbuka pada konferensi HT internasional pada 2007 di Jakarta. Yang dalam kesimpula berdirinya negara khilafah jadi solusi, dan mereka menolak negara kebangsaan,” kata dia.

Hanya saja, di UU tidak ada aturannya. Maka ada Perppu untuk membubarkan berdasarkan hukum administrasi. 

“Lalu muncul pertanyaan, kenapa pemerintah membubarkan HTI, orang-orang nya kok masih? PKI kok orangnya udah gak ada. Jawabannya, PKI karena hukum pidana, HTI hukum adminsitrasi. PKI itu kudeta, UU subversi. HTI tidak memberontak secara pidana. Kalau administrasi, bubarkan dulu, baru disidang. Kalau nggak terima, gugat pemerintah. Kalau hukum pidana, jangan dihukum dulu, disidang dulu baru dihukum. Kalau perdata, harus kesepakatan. Misalnya orang nikah,” papar Mahfud memberi contoh.

“Sekarang, ide khilafah masih banyak di lapangan. Di Sumatera Utara bahkan ada yang mengharamkan lagu Indonesia Raya. Bahwa radikalisme tidak boleh dikembangkan, sudah pasti. Tapi kita belum bisa menindak pidana bila orang melakukannya,” ujarnya.

Ormas Radikal Membajak Demokrasi

Dalam kesempatan yang sama, cendekiawan muslim dan Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra menyarankan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas perlu disertai dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur lebih rinci.

“Dalam pembicaraan saya di BNPT dan Densus 88, mereka merasa belum lengkap. Sehingga aparat kepolisian susah melakukan penindakan terhadap eks ormas yang muncul dengan baju baru. Nggak mau menghormati Merah Putih, nggak mau nyanyi Indonesia Raya. Juga melalui mimbar ceramah dan lain-lain. Nggak bisa apa-apa aparat,” kata Prof. Azyumardi.

Berkait degan itu, Prof. Azra menyarankan perlu upgrade penceramah agama agar pemahaman para penceramah agama bernuansa kebangsaan. Supaya tak ada ide aneh-aneh bikin negara khilafah di Australia, Asia tenggara dan lainnya.

“Yang penting, perlu diatur norma hukum. Sanksi-sanksinya. Prosedur hukum, pemberian dan pencabutan pendirian Ormas. Yang tak diperpanjang, apakah otomatis dibubarin atau bagaimana,” tandasnya.

Artinya, Ormas yang masih punya ide terlarang, harus berubah sesuai UU. Sebab, setelah HTI bubar, mereka menyesuaikan diri dengan mengubah identitas. 

“Eks HTI masih giat melakukan kegiatan dan inflitrasi di kampus-kampus. Bagaimana menindaknya?,” tanya dia.

Di luar itu, Prof. Azra menilai, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 adalah langkah terobosan di tengah merebaknya ormas anti Pancasila dan NKRI. Perppu ini terobosan karena belum ada di aturan sebelumnya. Sebab, kelompok radikal sudah aktif 10 tahun terakhir mase Presiden Sohearto. Kemudian semakin merebak setelah reformasi. Atas nama demokrasi dan HAM, mereka terbuka mengusung paham anti Pancasila. Sampai-sampai kelompok radikal seperti HTI menyelenggarakan konferensi khilafah internasional dengan leluasa.

“Baru Pak Jokowi yang berani mengeluarkan Perppu ini. Banyak pakar bilang, kebijakan Pak Jokowi ini melanggar HAM, melukai demokrasi. Ingat loh, modus HTI ini membajak atau hijacking demokrasi. Setelah berkuasa, para pembela HAM ini yang pertama jadi sasaran,” ingat Prof. Azra.

Sementara itu, Deputi Poldagri Kemenko Polhukam Mayjen Purnomo Sidi berharap FGD dengan tema kebijakan pemerintah dalam penanganan ormas radikal ini mendapat berbagai solusi.

“Semoga ada saran dan masukan, identifikasi hukum, masukan rekomendasi dan produk hukum untuk menangani Ormas radikal,” tandasnya. [IMM]

Pos terkait