Mahfud MD Dukung Kejaksaan Agung Sikat Penyebab Indonesia Kena Sanksi Arbitrase

Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin.

JAKARTA, Inisiatifnews.com – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mohammad Mahfud MD mendorong agar Kejaksaan Agung tak ragu-ragu dalam menuntaskan perkara pelanggaran serius di lingkungan Kementerian Pertahanan, yakni adanya pengadaan layanan dan jasa yang membuat Indonesia terkena sanksi arbitrase.

Pengadaan ini dikatakan Mahfud dilakukan oleh pihak Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, di mana saat itu pihak Kemhan melakukan tanda tangan proyek pengadaan satelit komunikasi pertahanan dengan beberapa perusahaan, salah satunya adalah dengan PT Avanti Communication Limited (Avanti) sebagai pengelola satelit artemis berupa floater. Floater tersebut merupakan satelit sementara pengisi orbit, untuk mengakomodir kebutuhan pembanguan satelit komunikasi pertahanan tersebut.

Bacaan Lainnya

“Pengadilan mewajibkan kita membayar uang yang sangat besar, padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum, yaitu Kemhan pada tahun 2015 melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu padahal anggaran belum ada (tapi) dia kontrak,” kata Mahfud MD dalam konferensi persnya bersama Jaksa Agung ST Bahruddin di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/1).

Saat kontrak itu dibuat, sebetulnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum dianggarkan sehingga memang tidak ada slot anggaran yang akan dikonsentrasikan untuk pengadaan kebutuhan satelit komunikasi pertahanan tersebut.

Sayangnya, selain dengan Avanti, Kementerian Pertahanan saat itu juga menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan lain di saat situasi belum ada keputusan soal alokasi APBN. Yakni ; Navayo, Airbus, Detente, Logan Lovell, dan Telesat. Kontrak tersebut dilakukan antara 2015-2016.

Menurut Mahfud, apa yang terjadi saat itu adalah sebuah pelanggaran prosedur yang sangat serius dan perlu ditindaklanjuti.

“Berdasar kontrak tanpa adanya alokasi anggaran negara itu melanggar prosedur,” ujarnya.

Kemudian karena memang tidak ada alokasi anggaran sehingga Kementerian Pertahanan tidak bisa membayar ketetapan berdasarkan kontrak yang dibuat. Kondisi ini akhirnya berdampak serius, dimana Avanti menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase di Inggris.

“Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani,” jelasnya.

Dari putusan majelis hakim pengadilan arbitrase di London tersebut, pada tanggal 9 Juli 2019 pemerintah dituntut membayar denda sebesar setengah triliun.

“Pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar,” jelas Mahfud.

Angka sebesar itu baru pada tuntutan dari Avanti saja, sementara faktanya beberapa perusahaan lain juga menggugat Indonesia di pengadilan arbitrase Singapura, yakni Navayo.

Dari penjelasan Mahfud, Navayo yang sudah tanda tangan kontrak dengan Kemenhan menyerahkan barang yang ternyata tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Sayangnya, produk yang diserahkan tetap diterima oleh Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017, sehingga kontrak berjalan dan pemerintah terkena tagihan pengunaan alat tersebut.

Kemudian Navayo mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kementerian Pertahanan, sementara pemerintah tidak bersedia membayar tagihan itu sehingga membuat perusahaan tersebut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase Singapura dengan tuntutan uang yang sangat fantastis.

“Berdasarkan putusan pengadilan arbitrase Singapura, tanggal 22 Mei 2021 Kemenhan harus membayar USD20.901.209 kenapa Navayo,” tandasnya.

Sayangnya, potensi kerugian negara akibat kesalahan fatal kontrak ini masih berlanjut. Karena beberapa perusahaan lain juga berpotensi melakukan gugatan yang sama.

“Selain sudah kita dijatuhi hukuman arbitrase di Inggris dan Singapura, negara berpotensi ditagih lagi Airbus, Detente, Logan Lovell, dan Telesat. Sehingga banyak sekali kalau kita tidak segera selesaikan akan banyak,” tandasnya.

Oleh karena itu, ia selaku Menko Polhukam memberikan dorongan kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti secara tegas dan cepat.

“Kami minta Kejaksaan Agung mempercepat proses ini,” tegasnya.

Selain itu, Mahfud juga menegaskan bahwa berbagai kerugian negara yang ada harus dibebankan kepada pembuat kontrak.

“Karena kalau ada sebuah pelanggaran hukum dalam sebuah kontrak dan kita harus membayar maka kita harus lawan. Dan yang bertanggung jawab ya yang membuat kontrak itu, karena belum ada kewenangan dari negara di dalam APBN bahwa harus melakukan pengadaan itu,” ucap Mahfud.

Terakhir, ia mengatakan bahwa kasus ini sudah disampaikan kepada Presiden, dan hasilnya kepala negara sudah memerintahkan dirinya untuk segera menuntaskan kasus tersebut.

“Saya juga sudah bertemu dan berdiskusi dengan Menteri Pertahanan, Menkominfo, Menteri Keuangan, Panglima TNI,” paparnya.

“Hari Rabu kemarin saya melaporkan kepada Bapak Presiden, dan Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini,” sambung Mahfud.

Kejaksaan Agung Siap Percepat Penuntasan Perkara

Sementara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa pihaknya sudah mulai menemui titik terang terhadap kasus yang membuat keuangan negara merugi besar itu.

“Kami telah lakukan penelitian dan pendalaman pada kasus ini dan sudah mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat kami tindaklanjuti,” kata Burhanuddin.

Kemudian ia juga menyatakan bahwa dalam dua hari ke depan, status penyelidikan terhadap kasus pengadaan barang dan jasa di Kementerian Pertahanan itu akan dinaikkan menjadi penyidikan.

Ditambah lagi, Kejaksaan Agung juga sudah mengantongi hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memperkuat berkas perkaranya.

“Memang dari hasil penyelidikan sudah cukup bukti untuk kami tingkatkan ke penyidikan,” tandasnya.

Hanya saja saat ditanya terkait siapa saja yang tersangkut kasus tersebut dan berapa total keuangan negara, Burhanuddin masih enggan menjabarkannya. Hal ini karena statusnya masih dirahasiakan sebab masih dalam tahap penyelidikan.

Pos terkait