Wapres: Pendekatan Agama Solusi Ciptakan Kerukunan

Inisiatifnews.com – Konflik global terjadi akhir-akhir ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan politik dan militer. Diperlukan alternatif lain untuk menciptakan kerukunan, yakni melalui pendekatan keagamaan. 

“Bahwa politik, apalagi pendekatan militer tidak dapat digunakan untuk menciptakan kerukunan. Ada alternatif, pendekatan keagamaan, forum-forum, upaya-upaya komunikasi yang harus dikedepankan untuk menciptakan kerukunan,” ujar Wapres KH Ma’ruf Amin saat menerima pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Pati Djalal beserta jajarannya di Kantor Wapres, Jalan Merdeka Utara Nomor 15, Jakarta, Selasa (28/1/2020).

Bacaan Lainnya

Hadir pula dalam pertemuan tersebut, Rosa Rai Djalal, anggota Abraham’s Peace Muhammad Abdullah Syukri dan Oji Fahruroji. Sementara Wapres didampingi Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar, Staf Khusus Wapres Masykuri Abdillah, Staf Khusus Wapres Masduki Baidlowi, dan Plt. Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Muhammad Iqbal.

Lebih lanjut, Wapres mengatakan, untuk membangun kerukunan diperlukan pilar yang kuat. Ia pun mencontohkan bahwa Indonesia memiliki empat pilar, yakni ideologi, yuridis, sosiologis, dan teologis.

Pertama yakni Pancasila dan UUD 1945. Kedua yuridis, yaitu dasar-dasar hukum. Ketiga sosiologis, yaitu kearifan lokal yang sudah dipunyai Indonesia. 

“Dan keempat yaitu teologis, yaitu menyebarkan narasi-narasi kerukunan, dimulai dari majelis-majelis keagamaan, membangun komunikasi antar umat beragama,” tandasnya.

Ke depan, Wapres berharap FCPI dapat mencakup semua agama, seperti Hindu, Budha, mengingat terdapat juga konflik yang terjadi di India dan Myanmar. Tak lupa, Wapres mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi kinerja dan program-program yang telah dilakukan FCPI.

“Jadi jangan hanya berfokus pada kerukunan agama Islam dengan Kristen,” sarannya.

Sebelumnya, Dino Pati Djalal melaporkan kegiatan yang telah dilaksanakan FPCI, salah satunya ialah Project 1000 Abrahamic Circles. Program yang telah dimulai dan akan berlangsung selama 10 tahun ke depan ini, melibatkan 3.000 tokoh agama.

“Proyek ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan dan kekhawatiran kita melihat situasi intoleran secara global. Salah satu situasinya, bahwa umat Islam dibatasi dan diganggu baik oleh pemerintah atau non pemerintah di 144 negara. Di lain pihak umat Kristen pun dibatasi dan diganggu baik oleh pemerintah atau non pemerintah di 142 negara, trending ini benar-benar global dan semakin meningkat,” terangnya.

Untuk itu, Dino memohon arahan dan doa restu Kiai Ma’ruf agar program ini berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan. Dino juga menjelaskan bahwa penyelesaian masalah intoleransi dengan memperkuat pemahaman akar rumput tentang toleransi, bukan lagi kegiatan forum tingkat tinggi atau internasional. 

“Sebab ini tidak menyentuh sampai ke bawah. Kami berharap, Project 1000 Abrahamic Circles ini mampu memperkuat dasar toleransi,” ujarnya.

Serupa dengan Dino, di tempat yang sama, Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Romo Frans Magnis Suseno menyampaikan,  untuk mewujudkan toleransi dilakukan dengan komunikasi dan saling menghargai kebebasan beragama dalam menjalankan ibadah agamanya masing-masing. 

“Hal ini dicontohkan bagaimana di Indonesia setiap agama dapat dengan damai menjalankan ibadah agama nya dengan baik, tanpa rasa takut dan tanpa kekhawatiran,” ungkapnya.

Romo Magnis juga mendukung program FPCI dan mengharapkan program ini terus berkelanjutan demi terciptanya kedamaian di dunia.

“Bahwa fokus pada program ini betul-betul kepada akar rumput, saling berkenalan, saling menghormati, saling menghargai dan menciptakan sinergi antar agama dan umat beragama lain, saya sangat mendukung program ini,” tandasnys.

FPCI adalah organisasi non politis dan independen yang bergerak di bidang hubungan internasional. Organisasi ini didirikan pada tahun 2015. Adapun Project 1000 Abrahamic Circles adalah program kelompok kecil yang terdiri atas pemuka agama Islam, Kristen dan Yahudi mewakili tiga negara. Kelompok angkatan ke-1, yakni Indonesia, Amerika dan New Zealand, dimana selama tiga minggu mereka tinggal secara bergantian, masing-masing satu minggu di komunitas, rumah dan pesantren tanpa mempengaruhi keyakinan masing-masing. Program ini hanya dilaksanakan pada negara-negara yang terlibat konflik antar agama yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. (FMM)

Pos terkait