Pemerintah Siapkan Perpres Libatkan TNI Tangani Teroris

Menko Polhukam, Mahfud MD saat mengunjungi markas Korps Marinir dengan menaikin kendaraan tempur (ranpur) jenis LVT7. [foto : Istimewa]

Inisiatifnews.com Menko Polhukam, Mahfud MD menyampaikan bahwa saat ini pemerintah tengah mempersiapkan Peraturan Presiden yang akan memberikan akses kepada militer Indonesia untuk ikut terlibat di dalam penanganan terorisme.

“Pemerintah saat ini sedang menyiapkan rancangan peraturan presiden tentang pelibatan atau peran TNI di dalam menanggulangi aksi terorisme,” kata Mahfud MD saat mengunjungi markas Korps Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (29/7/2020).

Bacaan Lainnya

Ia menyampaikan bahwa rencana pemerintah yang mencuat sejak tahun 2019 itu masih diwarnai oleh pro dan kontra dari sebagian masyarakat. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa militer masuk ke wilayah terorisme sementara TNI sendiri fungsinya hanya sebagai aparat pertahanan saja.

“Nah, ini masih timbul kontroversi karena terorisme itu kan tindak pidana, kenapa melibatkan TNI,” ujarnya.

Namun, Mahfud menjelaskan bahwa keterlibatan TNI di dalam penanggulangan terorisme penting bahkan termaktub juga di dalam Undang-Undang.

“Nah, itu perintah UU Nomor 5 Tahun 2018. Di situ dikatakan di dalam hal-hal tertentu tindak pidana terorisme itu bisa dianggap sebagai aksi terorisme,” jelasnya.

“Tindak pidana tertentu itu atau aksi terorisme itu adalah satu teror yang tidak bisa ditangani secara hukum karena sifatnya, karena tempatnya maupun karena skalanya,” imbuhnya.

Ketentuan-ketentuan itu disebutkan Mahfud, ketika tindakan aksi terorismw dilakukan di wilayah hukum internasional atau wilayah hak berdaulat Indonesia misalnya di zona ekonomi eksklusif (ZEE), di mana wilayah-wilayah itu tidak bisa serta-merta kepolisian atau lembaga hukum lainnya bisa masuk, dan hanya TNI yang bisa mengeksekusinya.

“Misalnya, menyangkut hukum internasional dan gesekan atau bersentuhan antar dua negara dari teror itu, kan polisi tidak bisa serta merta untuk ikut. Misalnya teror itu terjadi di perairan ZEE di mana bukan wilayah kedaulatan kita tapi wilayah hak berdaulat, itu kalau tidak TNI (yang bertindak) tidak bisa. Kalau terjadi di kapal/udara itu hak teritorialnya menurut hukum adalah hak negara yang punya kapal, Polri kan gak boleh masuk,” paparnya.

Dengan adanya Perpres nanti, maka peran serta TNI dalam upaya penanggulangan terorisme bisa dilindungi secara administrasi negara.

“Sehingga kita ingin meyakinkan kita semua bahwa keterlibatan TNI itu dilindungi oleh UU,” sambungnya.

Mantan Menteri Pertahanan itu menyebut bahwa keterlibatan TNI di dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia juga kebutuhan yang mendesak dan nyata adanya. Namun keterlibatan TNI tersebut juga harus dibatasi agar tidak keluar dari tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) militer Indonesia itu sendiri.

“Memang karena kebutuhan rill ywng memang nyata dibutuhkan untuk itu, sehingga batas-batasnya itu jelas. Bahwa ketika dia menjadi hukum maka itu urusan polisi, ketika itu merupakan aksi terorisme itu militer bisa ikut atas perintah Presiden sesudah dibicarakan dengan polisi, BNPT dan sebagainya, sesudah sampai batas tertentu (dapat) diserahkan (proses) hukumnya lagi kepada polisi,” ucap Mahfud.

Untuk melancarkan pembentukan peraturan presiden itu, Mahfud mengaku bahwa pemerintah telah mendiskusikannya dengan berbagai stakeholder baik dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), kementerian dan lembaga terkait, bahkan dengan partai politik. Dari hasil diskusi tersebut, disepakati bahwa memang ada kebutuhan mendesak mengapa militer perlu dilibatkan di dalam penanggulangan terorisme.

“Saya sudah mendiskusikan ini dengan LSM, dengan teman-teman partai politik, dengan lintas kementerian/lembaga, kira-kira tidak ada jawaban lain bahwa Perpres itu harus diproses lebih lanjut pembahasannya,” tandasnya.

Lebih lanjut, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu menyebut bahwq seharusnya materi hukum itu bisa selesai di pertengahan tahun lalu. Sayangnya, ada kendala yang memaksa proses pembahasan ditunda terlebih dahulu.

“Karena menurut UU itu seharusnya sudah selesai tanggal 21 Juni tahun 2019. Tapi waktu itu kita sibuk menghadapi keriuhan pileg dan pilpres dan sesudah itu kita mulai berfikir lagi. Begitu kita berfikir lagi dihadang lagi oleh pandemi covid-19,” jelas Mahfud.

“Tapi kita sudah bersepakat bahwa pandemi covid-19 tidak akan mematikan tugas-tugas kita dan kita akan segera melanjutkan pembahasan itu dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia,” tutupnya. [NOE]

Pos terkait