Rencana Aksi Mogok Nasional Buruh Saat Covid-19 Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Presiden Buruh
Tiga presiden buruh, KSPI Said Iqbal, KSBSI Elly Rosita Silaban dan KSPSI Andi Gani Nena Wea saat foto bersama dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta. [foto : Istimewa]

Jakarta, Inisiatifnews.com – Sejumlah federasi serikat pekerja di Indonesia berencana untuk menggelar aksi unjuk rasa di beberapa daerah termasuk di depan gedung DPR RI pada tanggal 6-8 Oktober 2020.

Namun rencana aksi tersebut tidak semuanya diikuti oleh konfederasi serikat buruh, salah satunya adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Bacaan Lainnya

Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban mengatakan, bahwa ada beberapa alasan mengapa pihaknya tidak ikut serta dalam aksi unjuk rasa tersebut. Salah satunya adalah tentang regulasi yang memayunginya.

“Karena mogok tidak diatur di dalam UU ketenagakerjaan,” kata Elly kepada wartawan, Minggu (4/10/2020).

Karena pada dasarnya, mogok hanya boleh terjadi di perusahaan yakni jika terjadi perselisihan antara pengusaha dengan buruh yang mengalami deadlock, sehingga penyelesaiannya diperbolehkan melakukan aksi mogok. 

Selain itu, Elly juga berpendapat bahwa selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja, pihaknya sudah beberapa kali terlibat untuk memberikan kritikan dan masukan kepada DPR RI dan pemerintah pusat. Hanya saja ia merasa untuk saat ini belum merasa perlu ada aksi unjuk rasa terkait dengan hal itu.

“KSBSI merasa sudah diajak pembahasan, jadi belum perlu aksi mogok,” ujarnya.

“Kalaupun nanti ada aspirasi buruh yang tidak dimasukkan dalam UU tersebut, KSBSI akan aksi sendiri. Sambil menunggu kepastian berapa banyak yang diusulkan oleh buruh ditampung di UU, dan apa saja yang didegradasi,” sambungnya. 

Di sisi lain, aksi mogok nasional justru merugikan buruh. Di mana buruh akan semakin banyak terancam di-PHK setelah aksi mogok 3 hari tersebut. 

“Sudah banyak buruh kehilangan pekerjaan. Karenanya, saya yakin buruh pun ketakutan kehilangan pekerjaan pasca mogok 3 hari,” terangnya.

Apalagi kata Elly, alasan mengapa pihaknya tak ikut aksi besar-besaran itu lantaran situasi saat ini yang masih berstatus pandemi Covid-19. Sehingga sangat dikhawatirkan akan menjadi klaster penyebaran baru. 

“Selain itu, situasi penyebaran Covid-19 belum mereda. Kita tak ingin aksi buruh justru menjadi klaster baru. Kami mengimbau semua untuk menahan diri,” pungkas Elly.

Kerumunan massa saat pandemi Covid-19 bahayakan kesehatan masyarakat

Selain Elly, pakar kesehatan masyarakat Prof dr Hasbullah Thabrany juga berharap ada kesadaran dari masyarakat untuk disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan. Apalagi saat ini kasus COVID-19 masih terus melonjak hingga masuk ke klaster keluarga.

“Jadi kesadaran masyarakat itu bagian dari kunci,” kata Prof Hasbullah (1/10).

Prof Hasbullah mengatakan, bahwa upaya pembatasan sosial dari pemerintah tidak akan ada gunanya ketika tidak diimplementasikan dengan baik di lapangan hingga kemudian masyarakat juga tidak patuh pada protokol kesehatan.

“Istilah PSBM atau PSBB itu tidak ada gunanya kalau sekadar basa-basi. Yang diperlukan adalah fakta di lapangan bahwa itu benar-benar dijalankan (oleh masyarakat). Itu yang paling dibutuhkan,” tuturnya.

Menurutnya, tugas untuk menekan jumlah penularan COVID-19 tidak bisa dibebankan begitu saja kepada pemerintah. Masyarakat harus bersama-sama dengan pemerintah dan tim kesehatan melakukan upaya pengendalian penyebaran COVID-19 tersebut dengan selalu memakai masker secara benar, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak atau juga menghindari kerumunan orang.

Upaya pengendalian penyebaran COVID-19, katanya, tidak akan pernah bisa tercapai tanpa dukungan masyarakat, karena masyarakat adalah orang pertama yang harus mencegah penyebaran virus mematikan tersebut.

Untuk itu, masyarakat tidak boleh lagi bersikap acuh dengan mengabaikan protokol kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus menerus mengedukasi masyarakat, dan bila perlu memberlakukan sanksi yang lebih tegas kepada orang-orang yang melanggar protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

Polisi tak akan izinkan kerumunan massa saat PSBB

Sementara itu, Polda Metro Jaya menegaskan tidak akan memberikan izin demo selama pandemi korona.

“Kemarin sudah saya sampaikan, Polri tidak akan pernah mengeluarkan izin untuk melaksanakan kegiatan demo,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (3/10).

Yusri mengatakan, aksi demo dikhawatirkan menyebabkan munculnya klaster baru penyebaran korona. Pertimbangan lainnya, angka kasus positif korona di Jakarta masih tinggi.

“Masa sekarang ini PSBB, COVID-19 di Jakarta ini cukup tinggi, 1.000 sehari. Jangan membuat klaster baru,” ujar Yusri.

Yusri menegaskan tidak akan mengeluarkan izin keramaian di wilayah hukum Polda Metro Jaya selama masa PSBB ketat.

“Polda Metro dalam hal ini tidak akan pernah memberikan izin untuk wilayah hukum Polda Metro Jaya untuk melakukan unjuk rasa atau tempat-tempat kegiatan keramaian yang ada,” tegas Yusri. [RED]

Pos terkait