Jakarta, Inisiatifnews.com – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) Habib Syakur Ali Mahdi Alhamid mengaku prihatin Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan lembaga yang sangat sakral tempat berkumpulnya para ulama, ada oknum anggota MUI yang diduga pelaku tindak terorisme ditangkap Densus 88. Oleh karena itu Habib Syakur meminta agar MUI harus selalu evaluasi dan mengaudit wilayah bawahannya.
“Harus kita pahami bahwa prinsip radikalisme secara halus masuk ke berbagai lini bermasyarakat dan negara,” ujar Habib Syakur saat Webinar bertema “Menilik Radikalisme dan Menakar Kebebasan Berekspresi di Ruang Publik” yang diselenggarakan oleh Pemuda Moeslim Jayakarta via ZOOM, Rabu (16/2/2022).
Habib Syakur menilai, harusnya MUI menjadi garda terdepan untuk memfilter masyarakat dari pengaruh radikalisme dan intoleran. Karena jika ditarik benang merahnya bahwa pelaku radikalisme ingin menunjukkan bahwa mereka ini secara terstruktur bisa membaur dan menyebarkan paham. Oleh karena itu munculnya partai baru yang khusus berpandangan Islam sangat disayangkan. Sehingga ada aktivis partai yang berpandangan keislaman yang ditangkap Densus 88.
“Densus 88 kinerjanya sangat hebat dan mengambil kesimpulan dimana tindakan dilakukan secara nyata. Maka Densus 88 ini sebagai kesatuan khusus yang membuat rakyat menjadi tenang dan nyaman juga teratasi tindak pidana radikalisme dan terorisme,” jelasnya.
“Seyogyanya masyarakat harus melihat secara jernih bahwa Densus 88 tidak ada kompromi dengan siapapun dan golongan apapun, yang nyata mereka melakukan tindak terorisme. Masyarakat dan pemerintah harus membaur menjadi satu untuk mewaspadai tumbuh kembang radikalisme dan intoleran,” tambahnya.
Sementara itu pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta mengatakan, banyak orang dianggap biasa tapi ternyata terduga teroris. Hal ini karena caranya berubah dari kekerasan, menjadi tanpa kekerasan. Kalau mereka menggunakan cara kekerasan seperti bom dan lain – lain maka akan merugikan mereka. Mereka mengubah strategi menjadi soft sehingga bisa menyusup ke masyarakat banyak, ke posisi strategis, ke BUMN, organisasi dan sebagainya.
“Dan ini justru berbahaya, karena tidak diketahui dan kurang diwaspadai,” paparnya.
Stanislaus menilai kinerja Densus 88 ini cukup baik dengan menangkap pelaku teroris. Jika tidak ditangkap maka dipastikan akan banyak aksi bom. Aksi Densus 88 juga didukung dengan UU No. 25/2015 yakni pencegahan. Tapi mencegah terorisme tidak cukup dengan aparat, tapi masyarakat. Yang terdekat, keluarga dan masyarakat.
“Jadi harus sinergi dengan masyarakat, diberi edukasi pendeteksian dini, lalu quick respon. Karena jumlah aparat tidak cukup. Harus dioptimalisasikan dengan pelibatan yang lebih masif dari masyarakat,” tandasnya.
Stanislaus menuturkan, setiap orang yang dicurigai akan dipantau dan diamati. Dipantau tidak harus diikuti tiap hari, tapi bisa lewat teknologi komunikasinya, dan transaksinya. Maka dari itu jika ada yang ditangkap, akan ada pengembangan dan penangkapan lainnya. Karena nanti di alat komunikasi yang disita akan diketahui komunikasi dengan siapa, dana dari siapa, dan sebagainya.
“Ini teknis sih, tidak harus diikuti terus,” paparnya.
Stanislaus menilai kelompok radikal adalah masalah pemikiran, bukan fisik. Oleh karena itu harus ada dialog, lalu pembicaraan aksi dan sebagainya. Mereka melakukan hal wajar agar bisa masuk ke masyarakat, setelah dipercaya baru mereka melakukan radikalisasi dan doktrinasi. Dan perubahan strategi. Inilah yang membuat yang ditangkap seakan biasa saja dan bahkan keluarganya kaget. Biasanya tidak akan terlihat secara fisik.
“Diketahui bisa dari lingkungan, browsingnya apa, temannya siapa, dan sebagainya. Jadi aksi teror saat ini lebih ke sel keluarga bukan kelompok besar. Kalau kelompok JI dan JAD akan terpantau dan terlihat. Maka dari itu akhir-ahir ini teror berasal dari sel keluarga, sel kecil agar tidak terlihat jelas dan tidak terdeteksi,” jelasnya.
“Jadi kelompok ini beradaptasi. Adaptasi ini yang harus diikuti, ketika beraktivitas di masyarakat, Masyarakat harus dikuatkan. Jangan sampai kalau kelewatan maka akan kecolongan dia melakukan aksi. Jangan sampai nanti mereka melakukan aksi malah dipuji karena kesehariannya baik,” tambahnya.
Stanislaus menegaskan, aksi teror tidak dibenarkan di agama manapun. Apapun alasannya. Saat ini teori untuk terorisme, sudah berubah. Dulu ada 6 tahap, tapi sekarang ada langkah cepat menjadi teroris. Jadi ada yang terpaparnya melalui internet, jadi self radikalisasi. Radikalisasi mandiri tapi mereka melakukan aksi. Memang jadinya ceroboh, tapi ini berbahaya.
“Ketika orang melihat ideologi lain, yang radikal, pemerintah harus melihat. Jadi PR, jangan-jangan doktrinasi Pancasila nggak berhasil, orang nggak melihat Pancasila sebagai ideologi. Jadi mereka tertarik ke ideologi lain,” paparnya.
“Lihat saja sekarang situs BPIP, soal doktrinasi Pancasila, Milenial tertarik nggak? Tapi coba jika anak muda lihat soal ideologi ISIS, diajarkan apa saja dan sebagainya, jangan-jangan malah mereka lebih tertarik. Jadi kita harus ubah, bagaimana cara kita mendoktrinasi Pancasila ke milenial. Jangan mendoktrinasi dan menguatkan Pancasila ke milenial, tapi malah caranya pakai kolonial. Jangan suruh buat karya tulis, tapi suruh buat konten berhadiah iPhone misalnya. Jadi kita lebih harus menguatkan ke Pancasila, ideologi Pancasila perlu didoktrinkan dengan lebih menarik, agar masyarakat terdoktrin dan punya dasar ideologi yang kuat. Dan tanamkan bahwa terorisme dan radikalisme ini musuh bersama,” sambungnya.
Caranya, libatkan mereka, misalnya buat konten dan sebagainya. Jadi doktrinasi kepada anak muda, ya libatkan anak muda. Justru mereka mungkin lebih hebat dari kita. Biarkan mereka yang membuat, yang tua cukup mengawasi saja.
Orang era post truth saat ini, sambung Stanislaus, menyukai apa yang dianggap mereka benar. Dan perkembangaan teknologi saat ini terlalu ekstrim, tanpa diimbangi etika. Sosial media harus diimbangi etika komunikasi publik. Kalau memang dia privat ya silakan. Kalau dibuka, dan ada kritik harus diterima. Tapi orang saat ini, mereka membuka, tapi saat ada masalah justru baru bingung. Ini karena etika komunikasi kurang.
“Karena ini era sosmed, jadi orang dengan mudahnya berbuat seenaknya, misalnya akun fake. Jika perlu ada regulasi, misalnya 1 akun 1 KTP. Buzzer pun sebenarnya itu mengganggu demokrasi. Menjelekkan sesuatu dan sebagainya. Orang datang ke Indonesia ini menganggap kita ramah, tapi soal sosmed itu netizen Indonesia kejam sekali,” pungkasnya.