Mahfud MD Kuliahi Imam Sjamsi soal Cara Bernegara

mahfud md
Menko Polhukam, Mahfud MD.

JAKARTA, Inisiatifnews.com – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan pemahaman lagi kepada Imam Sjamsi Ali, direktur Jamaica Muslim Center (JMC) tentang seperti apa bernegara menurut Islam.

Pertama, Mahfud menduga bahwa bacaan Imam Sjamsi Ali kurang lengkap sehingga salah dalam memahami apa yang menjadi perspektifnya tentang bernegara.

Bacaan Lainnya

“Komunikasinya tuntas , Ustadz. Penulisan beritanya yang tak tuntas. Dan Antum berkomentar tanpa minta rekaman ceramah saya di UGM,” kata Mahfud MD memulai penjelasannya, Kamis (7/4).

Diterangkan Mahfud, membangun negara adalah sebuah kewajiban dan menjadi bagian dari sunnatullah. Dan inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW di era kepemimpinannya.

“Menurut Islam, mendirikan negara itu wajib sebagai alat untuk beribadah. Buktinya, Nabi mendirikan negara. Mau bantah? Tidak, kan?,” ujarnya.

Kedua, Mahfud memberikan penjelasan bahwa mendirikan negara yang sama persis dengan Nabi Muhammad SAW tentunya salah dan haram. Penjelasan ini dikatakan Mahfud bukan berarti mengharamkan cara bernegara Nabi saat itu.

“Tapi mendirikan sistem bernegara seperti yang dibangun haram (murtad). Sebab negara yang dibangun Nabi kepala negaranya adalah Nabi. Pembuat hukum (legislasi) Allah dan Nabi, hakimnya juga Nabi sendiri. Nah, sekarang tak ada Nabi. Muhammad adalah Nabi terakhir. Tak ada Nabi baru yang bisa menjadi kepala negara,” tutur Mahfud.

Dengan perspektif itu, Mahfud akhirnya menganggap tidak bisa menjalankan sistem bernegara sama persis seperti yang dijalankan oleh Rasulullah Muhammad SAW tersebut.

“Maka haram mendirikan sistem bernegara seperti yang dibangun Nabi,” tambahnya.

Lantas bagaimana cara bernegara setelah Nabi, bagi Mahfud, tidak ada aturan baku dan letterlijk. Yang bisa dilakukan menurut Mahfud MD adalah melakukan kesepakatan atau bahasa arabnya ijtihad. Maka dari itu, banyak sistem bernegara di negara-negara lain, termasuk di Arab Saudi pun berbeda-beda. Ada yang menganut demokrasi, ada yang monarki dan sebagainya.

“Sistem setelah Nabi itu dibangun sebagai hasil ijtihad yang hasilnya ber-macam-macam dari era ke era dan dari area ke area. Sekarang saja ada minimal 57 sistem bernegara hasil ijtihad ummat Islam. Apakah Antum menentang hadits tentang Ijtihad?,” paparnya.

Walaupun tidak ada sistem baku yang bisa diterapkan seperti yang dijalankan oleh Rasulullah, Mahfud memberikan garis bawah besar bahwa ada substansi yang harus dipegang bersama-sama sebagai panduan dan rujukan.

“Negara menurut Islam yang sesuai ajaran nabi itu maqashid al syar’i atau substansinya, yakni, keadilan, kemakmuran, kejujuran, atau mashlahahnya. Maqashid syar’i bernegara itu sama, tapi sistem berbeda-beda,” jelas Mahfud.

Inilah yang akhirnya membawa perspektif Mahfud mengapa mendirikan negara seperti Nabi tidak boleh dan cenderung haram. Namun negara yang dijalankan oleh umatnya tetap harus memegang prinsip Islami.

“Menurut saya, mendirikan bernegara seperti sistem yang dibangun Nabi itu haram, bisa murtad. Sebab hal itu bisa berarti harus ada Nabi baru untuk menjadi pemimpinnya. Padahal Nabi Muhammad adalah khatam al Nibyyiien atau Nabi terakhir. Makanya yamg terpenting adalah maqashid syar’ie bukan sistemnya,” papar Mahfud lagi.

Kesimpulan dari penjelasan Mahfud kepada Imam Sjamsi Ali tersebut adalah ; bahwa mendirikan negara adalah wajib dan menjadi sunnatullah. Sementara hukum setelah Rasulullah adalah hasil ijtihadiyah yang tetap berpedoman pada Alquran dan as Sunnah. Kondisi ini yang membuat bernegara setelah Rasulullah bukan simbolik melainkan substansial.

“Mendirikan negara itu wajib, fitrah, sunnatullah. Setelah Nabi Muhammad tidak ada lagi Nabi dan wahyu Quran sehingga hukum baru harus dibuat dengan ijtihad. Al’ibrah fil Islam bil jawhar laa bilmadzhar (Bernegara dalam Islam yang penting substansi, bukan sistem-simboliknya),” pungkasnya.

Pos terkait