Oleh : Prof Mohammad Mahfud MD / Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)

Pancasila Sumber Norma

SERING ditanyakan, “Apakah kalau kita melanggar Pancasila bisa dijatuhi sanksi atau dihukum?” Jawabannya, jika yang dimaksud dihukum itu adalah dipenjarakan maka orang yang melang gar Pancasila belum tentu bisa dihukum. Yang bisa dihukum itu adalah mereka yang melanggar nilai-nilai Pancasila yang sudah dituangkan ke dalam undang-undang (UU) sebagai norma hukum.

Namun, pelanggaran atas nilai-nilai Pancasila yang belum menjadi norma hukum bisa dijatuhi sanksi lain yang bersifat otonom. Jadi, sanksi atas pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila bergantung pada penuangan nilai-nilai tersebut ke dalam jenis norma. Penuangan Pancasila ke dalam norma itu pun bergantung pada fungsi Pancasila itu akan dilihat sebagai apa; apakah akan dilihat Pancasila sebagai dasar negara atau selain sebagai dasar negara. Pancasila itu kan mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai dasar negara dan selain sebagai dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara melahirkan hukum-hukum yang tersusun secara hierarkis sebagai peraturan perundang-undangan mulai UUD, Tap MPR, UU atau perppu, PP, perpres, perda provinsi, hingga perda kabupaten/kota.

Bacaan Lainnya

Adapun Pancasila selain sebagai dasar negara, menjadi sumber pedoman perilaku yang tidak berbentuk hukum, tetapi berupa norma-norma lain yakni norma-norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Norma-norma yang bu kan hukum atau belum menjadi hukum itu pada umumnya disebut moral dan etika.

Perbedaan pokok antara norma hukum dan nonhukum terletak pada cara pemberlakuannya. Kalau hukum adalah norma atau pedoman tingkah lalu yang ditetapkan secara resmi keberlakuannya oleh lembaga yang berwenang, sedangkan norma-norma selain hukum adalah pedoman tingkah laku yang keberlakuannya tidak atau belum ditetapkan oleh negara tetapi secara umum ditaati.

Dalam hubungan gradual antara norma hukum dan norma-norma nonhukum tersebut maka norma hukum penegakannya bisa dipaksakan melalui sanksi heteronom, yakni dilakukan oleh kekuatan negara. Sementara norma-norma lain yang bukan hukum, penegakannya hanya berdasar pada kesadaran pribadi dengan sanksi otonom yakni sanksi yang datang dari hati nurani masing-masing pelaku, misalnya rasa berdosa, rasa malu, rasa takut terkena karma.

Dengan demikian, hukum-hukum agama tidak bisa dipaksakan keberlakuannya oleh negara sebelum norma agama tersebut disahkan keberlakuannya menjadi hukum. Fatwa agama atau kewajiban dan larangan agama yang disebut fikih, misalnya, tidak bisa ditegakkan oleh aparat penegak hukum negara. Orang Islam yang tidak membayar zakat, misalnya, tidak bisa dihukum dan dipaksa oleh negara untuk memenuhinya, tetapi orang yang tidak membayar pajak bisa dipaksa oleh negara untuk memenuhinya dengan ancaman hukuman. Meskipun begitu harus diingat, norma-norma yang bukan hukum yakni moral dan etika itu tetaplah penting, bahkan bisa dikatakan lebih penting daripada hukum, karena ia menjadi sumber hukum materiil atau bahan pembuatan hukum.

Sumber hukum materiil seperti ajaran agama, kesusilaan, dan kesopanan memang belum tentu menjadi hukum itu sendiri. Norma-norma itu baru menjadi norma hukum jika sudah disahkan keberlakuannya oleh negara, selebihnya hanya menjadi nilai etik dan moral. Ada kesimpulan penting dari uraian di atas, yakni hukum nasional kita yang disahkan keberlakuannya oleh negara merupakan produk eklektisasi (pencampuran) dari berbagai sumber hukum materiil yang ditetapkan keberlakuannya oleh negara. Hukum yang merupakan produk eklektisasi dari sumber materiil seperti dari agama-agama, budaya, dan sebagainya itulah yang menjadi hukum nasional sebagai hukum bersama.

Masalah yang sedang menjangkiti bangsa kita belakangan ini adalah sering kalinya terjadi pelanggaran hukum dan pelanggaran etika dan moral, namun pelakunya tampak tidak merasa bersalah. Hukum sering kali dilepaskan dari sukmanya, yakni moral dan etika yang merupakan pedoman nilai-nilai dari norma-norma yang belum menjadi hukum itu sendiri. Dalam realitas kehidupan kita, banyak orang melanggar moral dan etika tetapi merasa atau tidak mau mengakui kesalahannya hanya karena norma yang dilanggarnya belum menjadi hukum.

Banyak juga orang yang secara moral, etik, dan public common sense telah melakukan korupsi, tetapi karena kasusnya secara hukum tidak atau belum diputus oleh pengadilan maka mereka merasa dan mengaku tidak bersalah dengan muka badak. Itu terjadi karena hukum dilepaskan dari sukmanya sehingga hukum dan etika serta moral diperlakukan sebagai hal berdiri sendiri-sendiri.

Banyak tokoh kita yang sebenarnya sudah cacat moral, tetapi tetap bergeming bahwa dirinya tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan atau karena yang dilanggarnya belum disahkan sebagai hukum. Itulah sebabnya pada tahun 2001, MPR mengeluarkan dua Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai sekarang, yakni Ketetapan MPR Nomor VI MPR Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Ketetapan MPR Nomor VIII MPR Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Menurut Tap MPR Nomor VI MPR Tahun 2001, pejabat publik yang bersalah secara etik dan moral sehingga mendapat sorotan negatif dari publik harus bersedia mengundurkan diri jabatannya tanpa harus menunggu vonis pengadilan. Dan menurut Tap MPR Nomor VIII MPR Tahun 2001, pegawai negeri sipil yang terlibat dalam kasus hukum bisa dikenakan tindakan administratif atau dijatuhi sanksi disiplin sebelum kasusnya diputus oleh pengadilan. Namun, kedua Tap MPR yang masih sah berlaku ini tidak pernah dilirik.

Artikel ini pernah dimuat di Harian Koran Sindo 11 November 2017

Pos terkait