Oleh : Fadli Ramadhanil / Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

74 Tahun Tanpa Hakim Koruptor

fadli ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.

Inisiatifnews – Lembaga peradilan adalah tempat mencari dan mendapatkan keadilan. Di dalamnya ada hakim, panitera, serta seluruh perangkat peradilan guna mendukung dan memenuhi akses keadilan bagi setiap orang. Nasib seorang akan dihukum, direnggut kebebasannya, atau dipulihkan haknya akan diputus oleh pengadilan. Ketokan palu hakim akan jadi penentu segalanya. 

Urusan maha penting inilah yang mengharuskan seluruh perangkat peradilan, terutama hakim, harus menjelmakan dirinya menjadi setengah dewa. Bahkan, profesi hakim sering pula disebutkan sebagai wakil Tuhan, karena hakim bertugas untuk mendistribusikan keadilan bagi para pencari keadilan dimuka bumi. Atas profesi yang penting dan mulia itu, hakim mesti jauh dari prilaku tercela. Ucapan, perangai, bahkan pergaulan seorang hakim tidaklah bisa sebebas warga negara biasa. Seorang yang sebelum menjadi hakim dapat sesuka hati bertemu dengan siapa saja, pergi kemana saja, dan bebas untuk berbicara apa saja, tidak demikian lagi ketika ia mengucapkan sumpah menjadi seorang hakim.

Bacaan Lainnya

Ada marwah jabatan hakim dan kelembagaan peradilan yang ditumpangkan dipundak seorang hakim yang wajib dijaga oleh mereka yang berprofesi sebagai hakim. Atas dasar itu pula perilaku korup menjadi sebuah perbuatan yang haram bagi seorang hakim. 

Prinsip dan praktik demikian yang agaknya dipegang teguh dan diterapkan Jepang, dan setiap individu yang menjadi hakim di negeri sakura itu. Kondisi itu disampaikan oleh Taro Morinaga, Direktur yang juga berpfrofesi sebagai Jaksa pada  International Cooperation Departemen, Ministry of Justice, Jepang. 

Morinaga berbicara sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan Study for Legislative Practice yang sedang saya ikuti, di Tokyo, Jepang. Pada Senin (18/2) lalu, Morinaga dalam paparannya menyebut bahwa Mahkamah Agung di Jepang bisa memiliki peran dalam penyusunan ketentuan hukum pidana dan ketentuan hukum perdata. Setelah penjelasan Morinaga selesai, salah satu peserta yang hadir di dalam ruangan memberikan respon dengan mengatakan, berdasarkan penjelasan Morinaga, Mahkamah Agung di Jepang memiliki dua fungsi, yakni fungsi yudisial dan fungsi regulator. Fungsi regulator disebabkan karena Mahkamah Agung memiliki peran dalam penyusunan ketentuan hukum pidana dan perdata. 

Peserta tersebut menambahkan, ini bisa menjadi potensi masalah, karena akan terjadi konflik kepentingan, dan kesulitan dalam menerapkan hukum jika terdapat korupsi atau persoalan hukum di lingkungan Mahkamah Agung atau peradilan di Jepang. 

Bagaimana mungkin Mahkamah Agung yang nanti akan menyelesaikan perkara pidana dan perdata, termasuk yang berpotensi terjadi di lembaganya, justru berperan di dalam penyusunan ketentuan hukum itu sendiri. Dalam posisinya sebagai lembaga peradilan, hakim yang ada di Mahkamah Agung, akan memeriksa dan memutus jika terjadi persoalan hukum baik perdata atau pidana dihadapkan ke muka pengadilan di Jepang, termasuk yang melibatkan orang di lingkungan pengadilan, atau bahkan hakim di Mahkamah Agung itu sendiri. Ada potensi konflik kepentingan.

Selain potensi konflik kepentingan, keterlibatan Mahkamah Agung Jepang di dalam penyusunan regulasi pidana dan perdata juga dinilai keluar dari pakem umum lembaga peradilan yang lazimnya tidak terlibat di dalam penyusunan reguasi, termasuk penyusunan ketentuan hukum pidana dan perdata.

Lalu apa jawaban Morinaga? Dengan tenang ia menjawab, itu sepertinya sulit terjadi. Karena hampir tidak mungkin hakim terlibat dalam konflik kepentingan. Ia menambahkan, sejak tahun 1945, belum pernah satupun hakim di Jepang melakukan praktik korupsi. Artinya, selama 74 tahun belum ada hakim di Jepang yang tertangkap karena kasus korupsi. Saya tidak tahu persis, kenapa Morinaga memilih batas waktu tahun 1945.Namun satu hal yang pasti, tahun 1945 itu adalah tahun Republik Indonesia berdiri, dimana akan berulang tahun yang ke-74 pada tahun 2019 ini. 

Jawaban Morinaga yang mengatakan sulit jika hakim terlibat dalam konflik kepentingan terasa menjadi cerminan, bagaimana prasyarat ketat, standar integritas tinggi, serta prilaku yang mesti terjaga untuk seorang yang berprofesi sebagai hakim. Dari jawaban Morinaga, ada kesan yang saya tangkap, bahwa orang di Jepang begitu percaya terhadap lembaga kekuasaan kehakiman mereka. 

Salah satu wujud kepercayaan itu, dengan mudahnya mereka mengatakan sulit akan terjadi konflik kepentingan bagi seorang hakim, apalagi sampai melakukan korupsi. Paling tidak, mereka mampu membuktikan itu sepanjang 74 tahun terakhir. Artinya, seorang hakim mesti tahu betul dengan batasan prilaku dan standar integritas yang mesti dijaga selama mengemban jabatan sebagai hakim. Bahkan, perencanaan dan jaminan standar tinggi terhadap integritas dan profesionalitas seorang hakim mestilah dijaga sejak awal rekrutmen hakim itu sendiri. Sepertinya kesadaran dan praktik itu yang sudah dilakukan oleh Jepang selama puluhan tahun.

Kita di Indonesia, masih memiliki pekerjaan rumah terkait hal ini. Beberapa kali hakim di Indonesia tertangkap tangan melakukan praktik lancung. Bahkan, selevel Ketua Mahkamah Konstitusi, pernah digelendang Komisi antikorupsi karena meminta dan menerima suap dari pihak yang berperkara di lembaganya. Belum lagi beberapa hakim yang ditangkap karena melakukan praktik kotor korupsi, termasuk juga beberapa panitera pengadilan yang ternyata bagian dari masalah korupsi di lembaga peradilan Kita.

Khusus bagi MK, dalam waktu dua bulan ini akan menghadapi dua momentum penting sekaligus. Pertama, MK sedang menunggu proses pergantian terhadap dua orang hakimnya yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semua proses seleksi sudah selesai, tinggal DPR memiih dan menentukan, siapa dua orang calon hakim yang akan mengganjilkan lembaga “tiang Sembilan”.

Momentum kedua adalah MK sedang bersiap memeriksa dan menyidangkan perselisihan hasil Pemilu 2019 yang jumlahnya hampir bisa dipastikan tidak mungkin sedikit. Semoga dua momentum ini dapat menjadikan MK sebagai lembaga peradilan yang begitu mulia. Menjaga integritas kelembagaannya, serta mampu menjadi pelindung demokrasi dan kedaulatan rakyat. Cerita dari Jepang menghembuskan harapan, bahwa lembaga peradilan Kita juga bisa menjadi institusi yang begitu dipercaya dan dihormati oleh setiap pencari keadilan.

Pos terkait