Oleh : Mabroer Masmuh / Aktivis Nahdlatul Ulama

Pahlawan Corona

Mabroer Masmuh.

Dongkol, geram, jengkel, marah menyatu dengan kecewa, patah harap sekaligus gelap mata karena sudah sebulan lebih mereka ‘menganggur’ di rumah. Bantuan yang dijanjikan tak kunjung tiba. Kalau pun ada, itu pun salah nama & alamat. Seperti kasus di DKI, Sukabumi serta Subang yang sempat viral di Medsos. Penyebabnya, beda data di meja pejabat, beda nama di kantong RT dan Pak Lurah. Kok bisa? “Itulah Indonesia.”

Padahal, para pemangku pemerintahan seperti Presiden, Menteri terkait hingga Gubernur sudah berminggu-minggu memastikan ada bantuan dari negara untuk mereka. Nyatanya? Ada yang mati diduga kelaparan, digebukin massa karena mencuri, dan ada yang nekat melanggar PSSB karena hati luluh lantak dengar anak menangis dan istri uring-uringan tak bisa belanja. “Pusing-pusing…” Hanya itulah kata yang bisa mewakili kepedihan mereka karena setiap ketemu orang, ceritanya juga sama.

Bacaan Lainnya

Yang menarik, masak di DKI aja bisa salah nama & alamat, lalu bagaimana daerah-daerah lain, seperti cerita Kades di Sukabumi serta Subang atau daerah-daerah lainnya? Tentu saja, itu logika yang sangat sederhana, tak perlu gelar doktor atau pejabat ber-eselon untuk menganalisis kejanggalannya. Padahal, yang perlu kerja ekstra untuk menghadapi serangan Corona bukan hanya dokter & perawat, tapi semuanya. Karena faktor kesehatan bukan satu-satunya ancaman Pandemi Covid-19 ini, tapi juga urusan perut jutaan rakyat.

Sebetulnya berkisah tentang Corona itu sudah menjemukan karena ribuan kabar & tips dibagikan. Tapi, belakangan justru mulai ikut mewabah juga dampak lain yang ikut serta “mendampingi” Corona. Kelaparan, depresi, dan meningkatnya sensitifitas sosial acapkali mudah tersulut karena lapar & dahaga yang kian tak tertahankan. Akhirnya, keinginan untuk berbagi coretan tentang dampak Corona seperti rembesan air yang tak bisa dibendung.

Meski begitu, kita masih yakin bahwa tidak semua orang memilih jalan pintas. Ada yang tertolong karena tetangga terdekat atau kerabat yang peduli. Alhamdulillah, kini makin banyak bermunculan aksi simpatik warga, meski sangat terbatas seperti menggantungkan bumbu dapur di pagar-pagar rumah, nasi bungkus keliling, berbagi sembako serta aksi simpatik yang lain. Kalau nunggu bantuan Negara, keburu busung karena aparatur masih disibukkan urusan birokrasi. Jika tak tertib administrasi, bisa dijemput KPK, ya akhirnya rakyatlah yang jadi korban. Memang dillematis, tapi jalur berbelit-belit itu harus segera diamputasi agar penyebaran dampak Corona tak makin meluas dan menahun.

Tim lain yang tak kalah pentinya adalah penyelaras data base kependudukan, khususnya fakir-miskin. Baik miskin lama maupun ‘miskin’ yang baru datang bersama Corona. Validitas data ini menjadi salah satu kunci utama untuk mencegah penyebaran mati kelaparan, mati tak diobati, serta raibnya hidangan di meja makan. Jika validitas data bisa segera tertangani, Insya Allah negara akan selalu bisa hadir menyapa rakyatnya yang tengah membutuhkan. Dengan begitu, “Pahlawan Corona” bukan hanya akan disematkan kepada dokter & perawat, tapi juga aparat, baik sipil maupun TNI-Polri.

Pos terkait