Oleh: Mabroer Masmuh (Aktivis Nahdlatul Ulama)

Kisah Seputar Corona Yang Selalu Berhembus

mabroer
Mabroer Masmuh.

MEMBINCANGKAN Pandemi Corona seakan tak pernah kehabisan bahan. Ada saja yang menarik untuk diurai dari virus mematikan dengan gelar Covid-19 itu. Mulai dari asal usul virus yang menyebabkan Tiongkok “disomasi” karena dianggap sebagai produsen sekaligus distributor virus oleh sekitar 100 negara anggota WHO.

Siapa penggeraknya? Siapa lagi kalau bukan Amerika dan sekutunya, Australia. Belum lagi bicara Corona dari sisi grafik penyebaran, kematian, hingga pengawasan (ODP) yang membangkitkan kembali ingatan kita tentang perilaku rejim Orde Baru tempo dulu dengan Kopkamtib-nya.

Bacaan Lainnya

Dulu, jangan coba-coba nyinyir kepada penguasa, ‘rasan-rasan’ kecil aja bisa dijemput. Kalau nggak percaya, anak-anak sekarang masih bisa mendengar kengerian itu dari para korbannya. Namun, semua itu sudah jadi masa lalu sehingga harus dimaafkan, kendati tak bisa melupakan.

Dalam beberapa hari ini ada mengusik pikiran karena cerita dari tetangga bahwa ternyata Pandemi Corona ini masih belum mampu menjinakkan syahwat koruptif. Bahkan, beberapa minggu lalu, saya dapat kiriman WA tentang kisah pedih yang dialami sejumlah keluarga yang tinggal di camp karantina. Kala itu, yang mereka keluhkan adalah soal kebutuhan makanan.

Di sebuah lokasi karantina, kawan yang baru datang dari luar negeri bersama keluarganya itu menempati ruangan di lantai 2. Sedangkan untuk kebutuhan makanan, akan diantar ke lantai 2.

Ternyata, ketentuan itu tak berlangsung lama karena akhirnya ransum makanan hanya ditaruh di lantai 1 itu pun berkurang jumlahnya. Kondisi itu berlangsung lama sehingga dia mengambil jalur lain. Tentu ini cerita dari satu versi, belum tentu cerita itu benar adanya, atau malah sebaliknya. Wallahu’alam.

Cerita kedua tentang nasib pasien yang terpaksa harus menjalani perawatan di rumah sakit. Menurut cerita tetangga, keluarga kenalannya ada yang meninggal di rumah sakit bukan karena Covid-19 tapi diperlakukan oleh pihak rumah sakit layaknya pasien Corona. Tentu, dengan segala protokol sekaligus konsekuensinya.

Pertanyaan kita, bukankah tidak setiap kematian yang terjadi di rumah sakit itu disebabkan oleh virus Corona? Kenapa mereka harus diperlakukan seperti korban Corona? Begitu mendengar cerita ini (masih perlu divalidasi bersama kebenarannya,red), kita jadi teringat dengan pengakuan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa ratusan jenazah di DKI yang diperlakukan dengan standart “jenazah Corona”. Semoga ini hanya halusinasi akibat kelamaan diam di rumah (WFH) belaka, bukan fakta yang sebenarnya.

Tapi, “keluhan” Menteri BUMN Erick Thohir beberapa pekan silam tentang mahalnya beaya perawatan pasien Corona juga sempat mencuat ke permukaan. Di Indonesia, rata-rata kisarannya antara Rp 105 hingga Rp 215 juta. Dari catatan beberapa yang ada, justru beaya perawatan di negara tetangga jauh lebih murah dan lebih baik kualitas layanannya.

Di Singapura, misalnya, kisaran Rp 61 juta hingga Rp 82 juta (setelah dikonversi dalam rupiah,red), China Rp 48 juta, Thailand Rp 48 juta. Dari perbandingan tersebut, Indonesia justru pemegang rekor, padahal institusi pemberantasan korupsinya sudah berlapis.

Bicara tentang rumah sakit, saya juga dapat pengakuan dari keluarga seorang dokter bahwa saat ini banyak sekali masyarakat yang enggan menjalani rawat inap di rumah sakit. Entah apa sebabnya? Mungkin trauma dengan kisah pasien Corona atau yang lain. Tapi yang jelas, ada “pembangkangan” pasien karena mereka tak mau menjalani rawat inap, meski seharusnya diperlukan.

Bisa jadi, saat ini tak banyak orang berani membezuk, kecuali keluarga terdekat. Namun, terlepas dari asumsi-asumsi itu, saya masih terusik dengan cerita tentang “kebijakan” rumah sakit terhadap keluarga pasien yang meninggal agar mereka bersedia mengikuti protokoler pasien atau jenazah korban Corona.

Apa ini ada hubungannya dengan rumor yang berkembang bahwa pasien Corona menjadi salah satu “momentum” bagi sejumlah oknum rumah sakit? Itu ranah abu-abu yang hanya bisa diurai kebenarannya oleh aparat penegak hukum, agar tak jadi fitnah berkepanjangan.

Semoga Corona berhasil menyadarkan kita semua bahwa hidup ini hanya numpang lewat, jangan terlalu banyak membawa ‘beban’ karena hanya akan memberatkan saja di alam sana.

Pos terkait