Kasus Tamansari Karena Proyek Privatisasi Pemkot Bandung

Tamansari
Penampakan rumah warga di Tamansari usai digusur Pemkot Bandung. [Sumber foto : Ayobandung]

Inisitifnews – Peneliti Agraria Resources Center (ARC) Bandung, Yudi Bachrioktora menyampaikan bahwa persoalan penggusuran warga di Tamansari karena ada proyek privatisasi yang dijalankan oleh pemerintah kota Bandung.

“Salah satu bagian penting dalam kondisi ekonomi politik saat ini adalah proses privatisasi, buat siapa, ya buat segelintir orang yang punya duit dan punya perusahaan. Privatisasi itu apa aja, infrastruktur misal jalan tol, rumah dan sebagainya,” kata Yudi dalam sebuah diskusi bertemakan ‘Halo Halo Bandung’ yang digelar oleh Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR) UI di Balai Purnomo Prawiro FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (19/12/2019) malam.

Bacaan Lainnya

Proyek privatisasi di kampung Tamansari ini kata Yudi adalah pembangunan rumah deret oleh Pemkot Bandung. Padahal kata dia, jika dilihat dari roadmap proyek yang akan digarap oleh Pemerintah Kota Bandung itu, sejatinya bukan proyek rumah untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah.

“Kasus Tamansari, kasus ini diawali saat pemerintah kota Bandung berupaya membangun rumah deret yang dalam skemanya tidak ternyata bukan rumah deret untuk warga kelas biasa, tapi bagi orang yang mampu sewa dengan kemampuan dan ekonomi tertentu,” ujarnya.

“Artinya bukan untuk kelas menengah ke bawah tapi menengah ke atas,” imbuhnya.

Bagi pengajar Departemen Sejarah UI itu, penggusuran warga di Tamansari merupakan pelanggaran terhadap hak atas tanah masyarakat sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria, tepatnya Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

“Mereka warga di sana sebenarnya sudah tinggal di sana lebih dari 30 tahun, padahal di UU pokok agraria menyatakan bahwa bagi siapapun orang yang mengusahakan dan mengupayakan agar lahan tidak terlantar dia dapat prioritas mendapat hak milik atau hak guna,” jelasnya.

“Jadi hak mereka sudah dilanggar oleh pemerintah kotanya sendiri, dimana lahan itu dikomersialisasi, penyokongnya ada finansial yang mendukung sebenarnya,” tambah Yudi.

Di sisi lain, Yudi juga memberikan kritikan kepada kondisi nasional saat ini, dimana elite dan pemerintah lebih memanjakan investor dibanding melindungi hak-hak sipil warga negaranya.

“Hampir sebagian besar tokoh politik termasuk saat ini, memberikan ruang sebesar-besarnya bagi investor, kalau ada hal-hal administrasi akan dipermudah,” tandasnya.

Bahkan ia juga menyinggung slogan Presiden Joko Widodo yang hanya meminta rakyatnya kerja, namun pada akhirnya investor pun tetap sulit masuk ke dalam negeri.

“Contoh paling nyata kalau kita cermati kata-kata pak Jokowi belakangan ini, kerja kerja kerja tapi ada crash setelahnya yakni kenapa investor nggak mau masuk Indonesia tapi malah masuk ke Vietnam, dan kenapa yang digenjot malah hanya infrastruktur,” sambungnya.

Terakhir, Yudi mengingatkan bahaya krisis bisa melanda Indonesia karena invasi utang luar negeri yang terus membengkak. Karena menurutnya, cara negara asing menghancurkan perekonomian termasuk di indonesia adalah dengan mempermudah penyaluran pinjaman.

“Ini soal international group seperti WTO (world trade organization), word bank dan lain-lain. Mereka akan permudah kasih donor. Donor di sini maksudnya adalah utang-utang,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Sekjen Sekretariat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Dika Moehamad juga menyayangkan kasus penggusuran paksa warga Tamansari oleh Pemkot Bandung. Ia menilai bahwa seolah masyarakat miskin seperti diharamkan untuk tinggal di kota.

“Parahnya situasi sekarang, masyarakat miskin yang pertahankan lingkungan hidupnya dianggap menista dan melanggar, dituduh mencuri tanah negara. Di media sosial banyak sekali yang membuli, saya katakan mereka (yang membully) pasti yang nggak pernah haknya diambil paksa dan didzolimi apalagi rumahnya digusur, kali ya,” kata Dika.

Kemudian ia juga memandang ada sebuah praktik pemiskinan bagi masyarakat miskin di Tamansari. Dimana bagi warga yang mendapatkan kompensasi dari penggusuran itu tidak akan mampu untuk membeli rumah di tempat lain karena nominalnya yang tidak cukup

“Di Tamansari saya dapat info masyarakat yang dapat kompensasi tapi jumlahnya tidak kuat untuk beli rumah lagi tapi kuat untuk kontrak saja, dan kalau hanya kontrak kan uangnya lama-lama habis dan ke sana arahnya adalah bisa ke pemiskinan,” ujarnya.

Dan ia kembali menyayangkan bagi mereka yang mem-bully para warga Tamansari dan yang memperjuangkan hak mereka adalah orang-orang yang fanatik dengan pemerintah semata. Sementara penderitaan warga sejauh itu tidak pernah dipandang sehingga hinaan dan cercaan saja yang terlontar.

“Dan kepada para pendukung pemerintah yang katanya orang-orang baik itu tidak dilihat di situnya,” tandas Dika.

Kata Pemkot Bandung Soal Penggusuran Tamansari

Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung Dadang Darmawan menuturkan bahwa penertiban rumah warga di RW 11, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung dilakukan untuk mengamankan aset. Pascapenertiban, pihaknya akan memagari lokasi tersebut.

“Kami akan melakukan pemagaran dari batas-batas yang menjadi milik pemda,” kata Dadang di lokasi penertiban, Kamis (12/12).

Menurut rencana, proses pembangunan rudet akan dimulai dalam waktu dekat. Pembangunan tahap pertama sebanyak 200 unit ditargetkan pada Juni 2020.

“Perkiraan kami, pematangan lahan satu bulan. Itu bagian dari total pelaksanaan enam bulan. Jadi diharapkan Juni 2020 sudah punya rumah deret yang untuk tahap satu sebanyak 200 unit,” ucapnya.

Selain pembangunan rumah deret, di lokasi itu juga akan ditata melalui bantuan pemerintah pusat. Pemerintah pusat melalui program Kotaku telah menyiapkan anggaran Rp 11 miliar untuk penataan kawasan kumuh.

“DAK sekitar Rp 11 miliar. Ini untuk rumah deret meneruskan kontrak 2017 sebesar Rp 66 miliar,” katanya.

Dia melanjutkan proses pembangunan akan terus berlanjut. Apalagi dia menyebut sebagian besar warga terdampak telah setuju adanya pembangunan. Sedangkan yang menolak hanya 6 keluarga, dan 7 keluarga setuju pembangunan tapi belum sepakat terkait uang kerahiman. [NOE]

Pos terkait